Sabtu, 04 Februari 2012

Lessons of Love

Aku tidak peduli. Seberapa besarnya perasaan itu kembali muncul ketika kita bertemu kembali, aku tahu, pada akhirnya sudah tak ada lagi jalan kembali. Aku tahu, mungkin saja perasaan itu tidak akan pernah hilang untuk selamanya. Bahkan jika kelak aku menemukan jalan yang baru, mungkin saja perasaan itu akan kubawa sampai kelak maut menjemputku. Tapi aku tak peduli. Aku akan jalan terus. Aku akan berlari. Berlari sekencang-kencangnya. Berlari hingga angin sanggup menerbangkanku. Toh, sampai detik ini aku tetap bertahan. Aku tidak sakit dan mati karena perasaan itu. Aku tahu, itu karena aku lebih kuat. Aku lebih kuat dari perasaan itu. Ya, aku lebih kuat dari dirinya.

Sudah setahun lebih sejak hari itu. Ya, hari dimana Ray akhirnya memutuskan untuk meninggalkanku. Walau berat aku akhirnya menyetujuinya karena memang kupikir memang tidak mungkin bagi kami untuk hidup bersama. Aku tidak akan pernah melupakan hari itu. Ketika akhirnya aku menciumnya dan memeluknya untuk terakhir kalinya. Perasaan sedih yang begitu meluap, bahkan terlalu sulit untuk diungkapkan dengan air mata.

Ah, rasanya sudah lama sekali saat itu. Jauh sebelum mengenal Ray aku hanyalah gadis desa yang lugu, idealis, egois dan kekanak-kanakan. Ya, aku dibesarkan di dalam keluarga normal dan harmonis serta lingkungan teman-teman yang juga memiliki keluarga normal dan harmonis. Berbeda sekali dangan Ray yang sangat profesional, dewasa, realistis dan sangat bertanggung jawab. Ray berasal dari keluarga broken-home. Ayahnya seorang pemabuk yang setiap hari selalu ribut dengan ibunya. Walaupun mereka akhirnya bercerai, sejak mengetahui kelakuan bejat menantunya, nenek dan kakek Ray segera menyelamatkannya dan merawatnya seperti anaknya sendiri. Karena sikap ayahnya pula keluarga Ray bisa dibilang sering mengalami jatuh bangun. Sangat kontras sekali latar belakang kami berdua. Mungkin benar apa yang pernah dikatakan Soe Hok Gie dalam sebuah puisinya, “ kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta”.

Awalnya kami hanya teman biasa. Tidak terlalu dekat tapi cukup saling mengenal. Aku tidak ingat pasti kapan sebenarnya kami benar-benar dekat. Hingga suatu malam, 22 September, ya aku ingat tanggal itu, ia membawakanku sekuntum bunga mawar merah. Mungkin kalian akan tertawa karena sekuntum bunga mawar merah terasa kuno. Lagipula mawar bukanlah bunga favoritku juga. Namun, aku ingat, itulah pertama kalinya aku berani jujur terhadap diri sendiri dan akhirnya berkata “ya” padanya. Sejak saat itulah hidupku benar-benar berubah.

Itulah pertama kalinya aku belajar tentang cinta. Perasaan yang kadang-kadang membuatmu melonjak kegirangan. Perasaan euphoria berlebih, rasa senang yang melebihi batas normal. Itulah yang kurasakan saat awal aku memulai hubunganku dengan Ray. Aku begitu bahagia ketika akhirnya aku bisa menemukan seseorang untuk berbagi. Tidak hanya itu, aku juga merasa senang karena ada orang yang memerlukanku untuk berbagi. Aku merasa sangat senang karena hal ini berlangsung dua arah. Ya itulah pelajaran pertamaku tentang cinta. Perasaan bahagia karena bisa saling berbagi.

Seiring berjalannya waktu aku semakin mengenal Ray. Ternyata jauh diluar dugaanku, ia luar biasa manja, terutama saat sedang sakit. Walaupun tingkah laku dan pemikirannya menunjukkan kedewasaannya, tetapi ketika sakit ia benar-benar jauh berbeda. Seperti superman yang bereaksi terhadap batu kriptonit. Ia seorang yang tegar namun juga rapuh dalam berbagai sisi. Ia sanggup menghadapi jatuh bangun kondisi keluarganya. Akan tetapi bak yatim piatu, ia adalah seorang anak laki-laki yang haus akan kasih sayang orang tua yang kurang dia dapatkan semasa kecil. Ia sering kali terlihat iri saat melihat anak-anak kecil bermain di mall, ditemani orang tua mereka, dipeluk dan digendong. Sebuah hal kecil sederhana yang tidak pernah ia alami.

Di satu sisi, aku sering kali memikirkan, apa yang bisa kulakukan untuknya. Ya, aku berharap bisa memulihkan dia dari rasa sakit hatinya terhadap orang tuanya. Namun aku selalu dibingungkan dengan langkah-langkahku sendiri. Ketika kucoba membicarakan hal ini dengannya, ia dengan tegas menolak untuk membicarakannya. Kadang-kadang melemparkan pertanyaan yang tidak bisa kujawab sehingga aku terlihat bodoh. Seolah-olah argumenku tidak ada unsur kebenarannya setitik pun.

Mungkin hal itu pula lah yang sering membuat kami bertengkar. Kadang aku merasa tidak pernah melakukan apa-apa untuknya. Entahlah, rasanya sekarang aku sudah tidak ingat lagi apa saja yang membuat kita bertengkar. Terlalu banyak perdebatan yang penyebabnya saja aku sudah lupa. Pelajaran kedua tentang cinta, tidak ada cinta yang benar-benar mulus.

Setelah akhirnya memutuskan untuk berpisah, hari ini aku bertemu lagi dengannya. Seketika itu juga aku merasakan sentakan-sentakan emosi yang aneh. Perasaan senang, sedih, takut, marah bercampur aduk menjadi satu. Tetapi jauh dari semua itu, rasa rindulah yang paling menguasai diriku saat itu. Aku rindu saat-saat yang pernah kita habiskan berdua. Sekedar pergi ke kantin untuk bertemu, berbaring di atas kasur sambil merangkul satu sama lain, merebahkan kepalaku ke bahunya..... Ah, indahnya saat-saat itu.

“Hai!”, itulah kata pertama yang keluar dari mulutku, aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya selain “Hai!” dan memberikanya sebuah senyuman. Ia pun membalas dengan kata yang sama, “Hai!” sambil memberikan senyuman. Kami pun saling bertukar pandang satu sama lain. Saat itu aku mulai mengerti apa itu cinta.

At that moment, I feel like the time stopped. He stopped to give us time to cherish the love inside our heart. To feel the desire of having love in our heart. To make us believe that love will find a way. This is the most important lesson. Once you know what love is, you will never forget....