Selasa, 02 November 2010

Labil

inilah yg gw rasakan belakangan ini.
labil
labil secara emosi, pikiran, dan perasaan
mental dan psikologis
jadi jgn heran klo gw suka moody ga jelas
gw jg ga ngerti knp bisa labil kyk gini....

-vermillion-

post pertama di bulan ini!
ps : bnyk tggl bagus di bln november
01-11-10 ; 10-11-10 ; 12-11-10

Rabu, 27 Oktober 2010

a letter for him

it has been a thrilling three months
when you start all of them with happiness
and now come to this end

i used to hope it was you
i used to wait your coming

you used to call me everyday
you used to take me out

i used to...
you used to...

now

i stop believe
i stop waiting
i stop...

you stop calling
you stop coming
you stop..

i'm tired of it
thanks for the hope you give to me
thanks for lightning up my heart
thanks for making me learn,
that i can't never put a single lil' hope to anyone about anything.
thank you and goodbye

hope you will find your path
and i'll find mine too
and this will be my last prayer for you

-vermillion-

Senin, 25 Oktober 2010

this kind of existance that i never imagine before

one of my friend write a status on his facebook
he said, "too much people putting their dreams to him, and now those dreams give him a lot of pressure."

i think it's true
many people put their dreams to us
as our parents, brother and sister, friends, teachers, etc.
they will say to you, "you can get through this"
but never try to understand deep inside, our dream is just a simple dream and not a big one

i'm sick of what people's saying
like "you can get through it", "you can do it", "i pray for you"
and also "keep on spirit", "god speed", "god bless you" etc
i don't mean that all of these mean nonsense or bullshit
but those means nothing for me
it's better to motivate someone than just giving a usual advice
giving motivation gives people another point of view
but giving advice like a wise-person do is not good idea for a person like me

despite of all those things
because of others dreams, i live this kind of life not as me
but as another person
and it's all because others dreams
this is not funny
but as i said from the previous post
it became a point of no return
if i came home with an empty hand
what will people say to me
i will make my family embarrassed of me

Rein

Sabtu, 16 Oktober 2010

don't know what to say

Yeah you bleed just to know you're alive (iris-goo goo dolls)

And I feel just like I’m living someone else’s life
It’s like I just stepped outside
When everything was going right
(Home- Michael Buble)


(sorry for using Indonesian)

ada kalanya gw ingin sendiri, hidup dalam kesendirian untuk sesaat.
Just take a me time.

Gw kadang terlalu capek untuk ngadepin orang-orang di sekitar gw.
Apalagi kalo dibayangkan seperti saat ini.
Kadang gw bukanlah gw apa adanya.
Gw harus menjadi seperti apa yang diharapkan orang lain.

Di sisi lain, orang berharap banyak dari gw.
Terutama orang-orang terdekat gw.
Namun di sisi lain, orang-orang pun menaruh harapan pada gw.
Dan semua itu menjadi suatu beban baru yang harus gw hadapi, terutama untuk 4 tahun ke depan.

Gw rasanya ingin kembali menjadi seorang anak kecil yang tak perlu berpikir terlalu jauh dan memandang terlalu jauh.
Gw ingin gw cukup mempunyai pola pikir yang simple sehingga gw bisa menjadi seperti apa yang gw inginkan dan tak perlu peduli sama apa yang dipikirkan dan diharapkan orang lain.
Gw ingin menjadi sedikit lebih egois.
Tapi apalah artinya gw bermimpi jika itu tak pernah jadi kenyataan.
Karena di sini umur gw terus bertambah dan gw harus menjadi seperti ini.
Ini menjadi satu tantangan dan juga sebuah beban bagi gw.
Namun di sisi lain gw harus tetap maju demi itu semua.
This is the point of no return for me.

Selasa, 12 Oktober 2010

all i want to say

“If you, if you could return, don’t be let it burned, don’t be let it fade
I’m sure i’m not be rude, but it’s just your attitude
It’s tearing me apart, it’s ruining everything “
Linger-Cranberries


It’s not what i want
I never expect you will react like this
I just want you to know
That i do care with you
I don’t want to be your problem
I want to be your solution
But you never told me
You never give me a chance
I know you were hurted
So, let me heal you
I will try my best
But it depends on chance
You would like to give it to me or not

“Why you have to go and make things so complicated?
I see the way you're acting like you're somebody else gets me frustrated”
Complicated-Avril Lavigne

Jumat, 24 September 2010

akhirnya...

satu posting lagi sebelum bulan ini berakhir
gw ingin memberitahukan kabar gembira
i'm no longer single
special thanks to rein and TC for listening my curhat. hehehe
love u guys! :D

-vermillion

Senin, 06 September 2010

Aqrila’s prayer

Aramant
My goddess of time
Please tell me
Why did you take his time?
Why?
You promised me that I can see him again in the future
You told me to wait for his come back
Now he can’t
My dear Aramant,
I want him to be here again
I want to meet him
I want to give all that I have for him
I want to give my time for him
Please Aramant
Grand my wish
So that he can see me again
Although I can’t see him
Please, my dear Aramant
This is the only prayer from me
And will be my last


Rein

Jumat, 03 September 2010

Goddess of time

Ini hanyalah sebuah cerita, di mana waktu menjadi sebuah keabadian dan kutukan.

Di sebuah desa kecil, di tempat di mana orang-orang mencari kedamaian, hiduplah seorang gadis yang sedang merekah kedewasaannya bernama Aqrila. Sedari kecil dia tinggal di bersama para penjaga kuil di desa, karena ayah dan ibunya telah lama tiada akibat penyakit yang pernah merebak di desa itu. Gadis ini tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita dengan wajah bulat dan mata berwarna biru jernih, sejernih air di sungai. Aqrila juga memiliki hati yang lembut, namun hatinya telah menjadi milik seorang pemuda, yakni milik Larxash.

Larxash dan Aqrila tumbuh besar bersama, di mana setiap hari Larxashlah yang menemani Aqrila bermain sedari kecil. Sampai akhirnya saat ini, Aqrila membantu merawat kuil dan memelihara taman kuil tua itu, sedangkan Larxash mengabdikan diri sebagai prajurit yang menjaga desa itu.

Sebelum Larxash ikut serta sebagai prajurit, Aqrila yang berhati lembut pernah bertanya padanya, “Mengapa kamu ingin menjadi prajurit? Yang menjadi tugas seorang prajurit hanyalah berperang. Dan aku tak mau kamu menjadi seorang yang harus menumpahkan darah musuh-musuhmu.”

“Aku menjadi prajurit bukan untuk berperang, namun aku ingin menjaga dirimu. Di sisi lain, dengan menjaga kedamaian desa ini, aku pun bisa melindungimu. Maka itulah aku menjadi seorang prajurit.” Jawab Larxash.

Setelah mendengar hal itu, mengertilah Aqrila bahwa Larxash benar-benar ingin melindungi dirinya dan orang-orang yang disayanginya. Maka dia pun membiarkan Larxash untuk menjadi seorang prajurit.

Namun kebahagiaan dan kedamaian dari pasangan muda ini terganggu oleh sebuah berita yang menghapus segala harapan. Kota di sisi timur desa itu telah diserang oleh pasukan dari negara lain. Maka raja telah menyatakan bahwa prajurit-prajurit lain di sekitar daerah itu harus menuju ke kota tersebut untuk mengambil kembali tanah mereka dari negara penjajah.

Aqrila terkejut mendengar kenyataan ini. Dia sadar, bahwa saat ini seorang prajurit harus melaksanakan tugas yang diembannya dan dengan begitu artinya apapun yang terjadi Larxash harus menumpahkan darah. Maka semenjak munculnya kebijakan itu, Aqrila yang lembut menjadi murung.

Seiring waktu, prajurit-prajurit di desa tersebut mulai mempersiapkan diri, perbekalan, dan juga peralatan untuk persiapan perang, tak terkecuali Larxash. Dia pun gundah dengan kenyataan yang harus dihadapinya nanti, apalagi dia teringat akan pertanyaan Aqrila dulu saat dia akan ikut serta menjadi prajurit untuk melindungi desa ini. Dia tak pernah menduga perang seperti ini akan terjadi.

Sehari sebelum berangkat ke kota di timur, Larxash datang ke dalam kuil dan berdoa di sana. Dia tak tahu apa tujuan sebenarnya bagi dia untuk berdoa, namun yang dia tahu dia membutuhkan sebuah jawaban atas keraguannya yang ada dalam hatinya. Dia gundah oleh kenyataan untuk tetap menumpahkan darah demi kedamaian desa atau lari dari perang ini sebagai seorang pengecut.

Di tengah-tengah doanya yang begitu hening, tiba-tiba seseorang menepuk bahu Larxash. Dia pun membuka matanya dan menengok ke samping. Ternyata Aqrila telah berdiri di sampingnya.

“Bawalah sebatang mawar ini ke dalam perjalananmu besok. Aku tahu kau merasa gundah, begitu pula diriku. Namun bukan berarti aku akan membencimu bila kau terlibat perang ini. Karena aku tahu ini bukanlah keinginan dan harapanmu, namun hal ini tetap harus kamu lewati.” Kata Aqrila.

“Maafkan keputusanku yang pada akhirnya membuat diriku sendiri harus menumpahkan darah orang-orang yang menjadi musuhku.”

“Aku sudah tak peduli dengan itu semua. Yang aku percaya sekarang, bila waktu mengijinkan, kita pasti bisa bertemu kembali setelah semua perang ini usai.”

“Ya, aku berjanji kita akan bertemu lagi dan aku tak akan pernah lupa bahwa kau mencintaiku sebegitu tulusnya sehingga merelakan kepergianku saat ini. Dan ingatlah aku pun mecintaimu.”

“Pergilah Larxash, seberapapun aku merindukanmu, aku pasti akan terus menunggu kepulanganmu.”

Dan dengan berbekal mawar pemberian Aqrila, Larxash berhasil meneguhkan hatinya. Dia bersama prajurit-prajurit lain telah mempersiapkan diri akan segala kemungkinan yang akan terjadi bila mereka tiba di kota tersebut. Namun dia tetap percaya, bahwa suatu hari nanti, bila waktu mengijinkan, dia pasti bisa bertemu dan berkumpul kembali dengan keluarganya dan juga dengan Aqrila yang dicintainya.

Setelah beberapa hari perjalanan, ternyata para prajurit itu dihadapkan pada situasi di mana kehancuran besar telah terjadi pada kota di timur. Prajurit yang menjaga kota itu sudah habis oleh musuh. Kota itu sudah dikuasai musuh. Dan ternyata mereka sudah terjebak, karena pasukan musuh sudah memprediksikan kedatangan mereka. Cepat atau lambat prajurit-prajurit desa ini pun harus menyerang atau mereka akan diserang terlebih dahulu.

Hal ini menjadi sebuah kenyataan pahit bagi Larxash. Dia tak ingin segalanya terjadi secepat itu. Apalagi dengan keadaan genting seperti ini, dia semakin ragu apakah dia bisa memenuhi janjinya untuk kembali dan bertemu dengan Aqrila kembali.

Akhirnya komandan pasukan memerintahkan para prajuritnya mempersiapkan penyerangan yang akan dilakukan menjelang fajar di esok hari. Larxash berdoa dalam hatinya, dia pun mengeluarkan sebatang mawar dari Aqrila dari perbekalannya sendiri. Mawar itu telah layu. Dan terbersit dalam hati Larxash, apakah hidupnya akan seperti mawar itu yang akan mati dengan begitu cepatnya.

Di sisi lain, di desa kecil itu. Seluruh keluarga yang suami dan anak laki-lakinya ikut pergi berperang merasa gundah. Apakah mereka masih dapat bertemu dengan orang-orang yang mereka sayangi? Begitu pun dengan Aqrila, dia menanyakan pertanyaan yang sama dalam hatinya. Dan karena kegundahan inilah, Aqrila tak henti-hentinya memanjatkan doa kepada Amarant, Dewi Waktu yang menjaga kuil tersebut, agar dia mendapat kesempatan untuk berjumpa kembali dengan Larxash yang dicintainya.

Amarant sang Dewi melihat kesungguhan Aqrila. Dia tahu betapa lembut hati gadis itu. Betapa gadis itu mencintai Larxash apa adanya dan kesungguhan yang terdalam. Dia pun berjanji pada Aqrila bahwa harapannya dapat terkabul.

Esoknya, tibalah hari penyerangan. Larxash yang merupakan pemain pedang yang cukup handal berada di garis terdepan bersama teman-temannya. Dia hanya bisa memasrahkan dirinya pada Dewi Waktu agar dia bisa memenuhi janjinya di kemudian hari bila segala perang ini selesai.

Saat penyerangan terjadi, tanpa disangka oleh komandan pasukan, ternyata prajurit musuh sudah mempersiapkan diri. Dari balik benteng kota, mereka telah menyiapkan sepasukan besar pemanah. Dan saat Larxash bersama prajurit-prajurit lainnya dating menyerang, hujan panah tak dapat dihindari. Satu per satu teman-teman Larxash meregang nyawa. Dia tetap berusaha maju. Namun sebuah panah berhasil menembus baju besinya dan mengenai jantungnya. Akhirnya Larxash tewas di tengah genangan darah.

Satu hari telah berlalu tanpa ada kabar dari peperangan yang terjadi di timur desa kecil itu. Semua keluarga yang ditinggalkan orang-orang yang disayanginya untuk berperang memuncak kegundahahnnya. Tak terkecuali Aqrila. Hanya satu yang terus dipikirkannya. Larxash.

Keesokkannya, seorang prajurit kembali. Dia berhasil segera kembali ke desa begitu tahu bahwa perang telah menuai kekalahan. Dia memberitahukan kepada warga desa itu bahwa mereka yang telah ikut berperang bersamanya telah tiada. Pahitlah hati Aqrila begitu mendengar kabar ini. Segeralah dia berlari ke dalam kuil itu dan berdoa pada Amarant. Dalam permohonannya dia mengucap agar Amarant menghentikan waktunya dan memberikan waktu itu pada Larxash.

Amarant ragu dengan keputusan Aqrila, namun dia semula telah berjanji agar Aqrila dapat berjumpa dengan Larxash. Maka dia pun mengkristalkan waktu Aqrila dan memberikan waktu itu pada Larxash.

Larxash yang terbaring di tengah-tengah peperangan itu tiba-tiba bangun dan tersadar. Dia memandang ke tempat di mana luka panah itu seharusnya berada. Memang ada lubang bekas panah yang melubangi baju besinya. Namun luka seolah tak pernah ada di sana. Dia memandang ke selilingnya, teman-temannya telah tewas namun tempat di mana semula darahnya menggenang kini dipenuhi helai-helai mawar. Larxash merasakan gundah seketika dalam hatinya. Sedapat mungkin dia ingin secepatnya pergi kembali ke desa itu.

Saat Larxash tiba di desa, dia segera berlari menuju Kuil Amarant, berharap dia dapat menemukan Aqrila di sana. Aqrila semula biasa dijumpainya sedang berdoa di sana sekarang terkristalisasi dengan begitu indahnya di Amarant. Segeralah dia sadar bahwa Aqrila telah memberikan waktu yang dimilikinya untuk menyelamatkan kembali Larxash.

Segeralah tangis Larxash memenuhi ruang megah di kuil itu. Amarant merasa sedih melihat kedua anak manusia ini berjumpa namun tak dapat bersatu. Di tengah-tengah tangisan itu Larxash memohon agar waktu dia dapat mengembalikan waktu Aqrila. Namun Amarant tak bisa berbuat apapun. Waktu yang telah diberikan tak dapat diambil kembali. Larxash kembali meraung pedih atas berhentinya waktu bagi Aqrila. Maka dia menarik pedangnya yang semula tersarung di rantai pinggangnya. Kemudian mengangkat pedang itu dan menghujamkannya ke jantungnya.

Di saat itulah Amarant merasa begitu pedih. Kedua anak manusia itu telah kehilangan waktunya. Waktu Aqrila berhenti dan terkristalisasi setelah dia memberikannya pada Larxash, sedangkan waktu Larxash berhenti dan terhisap pedang. Amarant tak bisa melakukan apapun untuk membuat mereka berjumpa maupun untuk menggulirkan kembali waktu kedua anak manusia yang saling mencinta dalam keabadian waktu. Karena waktu yang telah menyatukan mereka dan waktu pula yang memisahkan mereka.


Rein
reedited by Vermillion92

Sabtu, 28 Agustus 2010

Dear Vermillion92

Now, we’ve been apart for quite sometime
And furthermore, I’ll go somewhere that you can’t reach easily
You know,
Now you are a part of my life
In the past you are someone who had filled my life
And now
Although we can’t meet for sometime
For the time that you and I never know
You are still a part of my life
In the past, at this time, even in my future
Although we are separated
Because of place and time
But you still in my heart
As your friend
I always wish you the best for your life

rein

Jumat, 27 Agustus 2010

curcol (curhat colongan)

jadi beginilah nasibku selama tiga minggu kuliah
gw nyangka ternyata kuliah baru tiga minggu
tp udah bnyk kejadian

pertama2 dimulai dari masa2 daftar ulang yg terjadi seminggu sblm kuliah
saat pertama kalinya gw masuk ke dalam dunia anak kos...
apa yg dirasakan oleh seseorang yg biasanya tinggal sama keluarga lalu tiba2 harus survive sendiri? ada perasaan sedih krn kangen rumah dan bosan serta bete gara2 di kosan ga ngapa2in. hmm....

klo gw inget lagi hal itu, kok rasanya udah lama bgt. padahal baru kurang lebih 3 mingguan. kemudian setelah bete2an dan bosen2an mulailah gw berkenalan dgn tetangga gw yg ternyata seorang cowok hyegene freak! yah dy aga2 lebay mengenai kebersihan dan kamarnya ga boleh diutak-atik

kemudian gw berkenalan dgn seseorang di lt.3 yg seangkatan. ternyata kakakny adalah sahabat tetangga gw. lalu gw berkeliling kos bersama ank2 angkatan 2010 untuk berkenalan.

setelah itu kejadian open house. di sana gw diperkenalkan dgn beberapa teman2 dari tetangga gw itu dan diajak tour kampus.

dan sekarang setelah 3 minggu berlalu, muncul benih2 cinta antara tetangga gw dgn seorang teman gw. hahahaha senangnya!

gw jg menemukan sebuah keluarga baru di kampus baru. gw senang.dan gw ga ngerti knp gw bs jadi "agak populer" (jujur aja gw ga enk pake kata ini, kesanny gimana gitu. dan sbnrny gw jg aga mls klo jd terlalu high profile) di kalangan mahasiswa tingkat atas...
tapi,pokokny sejauh ini gw merasa senang2 saja... hahahahaha

sekian
-vermillion-

Minggu, 15 Agustus 2010

Dear Rein,

It has been a thrilling journey
I still remember the first time we met
Sitting in the classroom
Looking at each other
Without knowing what the future will bring

I know how we could know each other
I know we have similarities
I know we have differences
But I know
We will build a neverending friendship

Every meeting will be ended by a farewell
Hello and goodbye
Though it’s hard to do it
I have to say it

This ship
Is called friendship
It doesn’t care about the time or place
It just needs trust and love

I believe
Although we are walking on the different path
We are still sailing in the same ship
We are sailing in the friendship


love,
vermillion

P.S.
i'm gonna miss you
sorry can't meet you before you go...

Rabu, 28 Juli 2010

time

and here it goes...


time flies
sometimes it's hard
sometimes it's soft

grass
bushes
trees

leaves
flowers
fruits

spring summer autumn winter

they just got their own time
-vermillion

Senin, 19 Juli 2010

TC is Here...

Well, long time no see, guys.
Just to tell all of you that TC is not dead yet.

Tormented-Complex (TC)

Rabu, 30 Juni 2010

Memoar Indonesia (3)

aku tahu
sudah saatnya kau pergi jendral
tinggalkan tirani dan tahtamu
saatnya perubahan terjadi lagi
di tanah ini, di dalam diriku

REFORMASI!!

dan itulah zaman yang baru
yang akan mengubah semuanya
menjadi lebih baik
mendorong rakyatku menjadi lebih berprestasi
mendorong rakyatku menjadi lebih peduli
pada bangsa dan tanah airnya sendiri

dan aku melihat kemajuan
dalam beberapa bidang
kemenangan dalam ajang olimpiade
mengatasi resesi ekonomi dengan cukup baik

dan aku juga melihat kemunduran
pada orang-orang pandai
yang memilih meninggalkanku
dan tidak mengakui aku

pada dasarnya negara ini mengalami kemajuan
diikuti stagnansi
ah bukan negara ini yang maju
waktu lah yang berjalan
apa aku terlalu tua untuk menyadarinya?
hingga aku kembali ditinggalkan
oleh rakyatku sendiri

nasionalisme
sudah lama aku tidak mendengarnya
sudah lama aku tidak melihatnya
sejak tirani pertama diruntuhkan
sejak tahta berikut dikudeta
sejak....

"anakku mengapa engkau malu mengakui ibumu?"

oh,lihat ibu pertiwi
sedang bersusah hati
air matanya berlinang
mas intannya terkenang...

Kamis, 24 Juni 2010

Mournful Sorrow

When I was a little girl
I asked my mother what will I be
Will I be pretty?
Will I be rich?

When I was a little girl, I only saw that the world in a child’s view, full of bliss.
It was a child’s dream
Only in dream
Now
I am mature enough to understand the mournful sorrow
The pain deep inside my heart
Is now well hidden deeply
Only me knowing the down-like feeling as this pain
But I cannot understand this kind of strange lunacy
As if the bird with a broken wing
Can I go on flying in this foolishness world

Rabu, 26 Mei 2010

Memoar Indonesia (2)

muncullah sebuah gerakan
mengoyak tirani yang menyelubungi diriku
dari sekelompok orang yang prihatin dengan keaadanku
mereka adalah bangsaku sendiri
generasi muda dan berpendidikan
dengan berani menyuarakan apa yang aku inginkan
ya sebuah perubahan pada diriku sendiri
mengubah yang lama menjadi baru
menggantikan orde yang ada

aku tahu agar terjadi perubahan nyata
perlu sebuah titik balik
dan aku pun menetapkan titik balik itu
30 september 1965
aku perlu tokoh baru sebagai pemimpin
dan hanya ada satu orang saja
yang tetap tinggal bersamaku walaupun aku sedang kesulitan
ya, aku yakin ia dapat mengubah diriku
ya, di mataku sang jendral bagaikan pangeran berkuda putih
yang siap membawaku ke istananya dan menjadikanku permaisurinya

akhirnya tirani itu runtuh
sang jendral naik pangkat
awal yang bagus kupikir
dengan rancangan program pembangunan yang cukup sukses
kurasa aku akan mendapatkan kebebasanku sepenuhnya
dan aku akan menjadi negri terindah

sayangnya sang jendral menyembunyikan terlalu banyak hal
ternyata selama ini aku telah dibohonginya
panas hatiku bila harus mengingatnya
pembangunan? apa yang dibangun?
toh, hanya ibukota saja yang besar
potensi daerah? nol besar!
ke mana anggaran negara??
kau berikan pada anakmu sendiri,ya?
buat apa kau bunuh dan tangkap rakyat sendiri
lagipula mereka itu rakyatku bukan rakyatmu!
kau perkosa semboyan bhinneka tunggal ika
kau koyak pancasila
kau biarkan aku terjajah lagi oleh ketakutan

kekejaman harus dibalas dengan kekejaman
kau terlalu kejam padaku jendral
dan kekejamanmu sudah berlangsung terlalu lama
kebohonganmu akan membawa dirimu sendiri
ke dalam penderitaan yang tak pernah kaubayangkan
ingat jendral, karma itu ada

-->bersambung

Mei 1998

Ini adalah bagian dari masa kecil seorang anak yang kelam
Ini adalah bagian dari kesuraman dalam hidup seorang anak yang sedang bertumbuh
Ini adalah masa lalu kelam dari sebuah negara yang pernah berusaha untuk merdeka
Ini adalah Mei ‘98

Suatu hari yang biasa di bulan yang biasa di tahun yang tidak biasa
Di mana resesi menekan kehidupan setiap orang
Di mana kekacauan meracuni benak setiap insan
Di mana kemiskinan tak hanya menghimpit masyarakat namun juga pemerintah

Mei ‘98
Entah apa yang ada dalam benak manusia-manusia yang tak ubahnya seperti hewan
Entah apa yang ada dalam benak mereka yang terancam karena ras dan agama mereka
Entah apa jadinya seorang anak yang kehilangan segala-galanya
Kelurga, harta, keperawanannya, bahkan masa depannya.
Semua sirna karena kebiadaban manusia yang selama ini mengaku beradab

Mei ‘98
Titik balik dari sebuah demokrasi yang menghancurkan sebagian dunia dan masa depan kaum muda
Titik balik dari kehancuran suatu sistem yang juga ikut menghancurkan suatu ras yang di mana akupun ada di sana
Tak ada yang minta aku dilahirkan sebagai seorang keturunan
Bahkan tak pernah terbersit bahwa ini semua akan membawa kehancuran bagiku
Aku kehilangan
Ayah, ibu, adik.
Aku kehilangan harga diriku
Aku dihancurkan jiwa dan raga
Aku bahkan tak sanggup lagi berteriak
Yang dapat kurasakan sekarang hanyalah dinginnya tanah yang menyelimutiku di balik sebuah batu bertuliskan namaku.

Rein

Memoar Indonesia (1)

Halo, nama saya Indonesia
Saya berbicara dalam bahasa yang sama seperti nama saya
Bahasa Indonesia

Saat ini umur saya 65 tahun
Sebenarnya saya jauh lebih tua dari itu
tapi anggap saja saya sudah 65 tahun
karena jauh sebelum saya punya nama
saya dikenal dengan berbagai nama
Maleische Archipel
Nederlandsch Oost Indië
Insulinde
Nusantara
ah, sudahlah, tak usah kau ingat nama lain
cukup panggil aku Indonesia.

Aku lahir tanggal 17 Agustus 1945
Ketika pemimpin pertamaku membacakan teks proklamasi
menaikkan bendera Merah-Putih
menyanyikan lagu Indonesia Raya
Saat itu aku berpikir ini akan menjadi sebuah awal kehidupan yang baru
Mungkin akan menjadi lebih baik setelah orang asing berkuasa atas diriku
ini saatnya bagi bangsaku untuk berkuasa atas negrinya sendiri

Aku tahu, ini pasti menjadi awal yang berat
oleh karena itu aku harus bersabar
sebelum seluruh dunia mengakui eksistensiku
aku harus menunundukkan pengacau-pengacau itu
mengikuti berbagai pertemuan untuk memperjuangkan hak-hak ku
mengacungkan senjata jika diperlukan
Aku tidak akan menyia-nyiakan setiap tetes keringat dan darah yang keluar
Aku akan memperoleh eksistensiku sepenuhnya
yang lebih menyakitkan lagi
aku harus bersikap keras terhadap bangsaku sendiri
akibat pemberontakkan yang ia lakukan

aku begitu sedih
perasaanku begitu galau
aku merasa seolah-olah aku membunuh anakku sendiri
tapi aku harus melakukannya untuk bangsaku
untuk eksistensiku
untuk aku dan semua yang mencintaiku

Setelah aku mendapatkan pengakuan
maka inilah saatnya bagiku untuk mengisi hari-hariku sebagai negara, bangsa yang baru
tetapi sang pemimpin telah lupa
lupa pada dasar negara yang ia buat sendiri
lupa pada dasar pemerintahan yang ia rancang sendiri
lupa kalau ia bertanggung jawab pada bangsa ini
lupa kalau aku berkuasa atasnya
bukan ia yang berkuasa atas aku
apalagi berkuasa atas negara-negara lainnya

Mulanya aku memaklumi ke "lupa" annya
namun semakin lama ia semakin lupa
hingga pada satu titik aku pun berpikir
ia tidak akan ingat kembali
semua sudah berakhir
negri ini harus diubah
dan saat itu usiaku baru menginjak 15 tahun...

-->bersambung

Vermillion

MEI

Sebelum bulan ini berakhir
Aku ingin menulis
tulisan ini ditujukan
bagi mereka yang mengingat
kejadian pada bulan ini
dua belas tahun yang lalu

waktu itu aku masih berusia 5 tahun
hampir 6 tahun
adikku masih belum nampak
tapi sudah ada tanda-tandanya
ibuku sedang melakukan perjuangan 9 bulannya
ayahku masih bekerja di sebuah perusahaan swasta
kakek ku masih bekerja sebagai tukang kaca
nenek ku masih membantu usaha katering keluarga
bibi ku masih tinggal di negri ini

yang masih kuingat saat itu
di depan gang rumahku dulu ada minimarket
di seberang minimarket dulu ada bioskop
lalu aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi
tiba-tiba saja bioskop dan minimarket itu ramai sekali
setelah agak sepi aku melihat pintu-pintu kaca yang pecah
dan spanduk-spanduk film terbakar

ketika kulihat TV
begitu banyak orang berdemonstrasi di jalan-jalan
gedung DPR menjadi penuh
spanduk-spanduk bertebaran
menuliskan reformasi
apa itu?

waktu itu sekolahku diliburkan
tapi aku tidak mengerti kenapa
karena seperti anak-anak lainnya
dan bahkan orang dewasa sekalipun
aku tetap menyukai hari libur
tapi kulihat keluargaku begitu ketakutan
dan bibi ku memintaku untuk melepaskan anting-anting minnie mouse kesayanganku
aku tidak mengerti kenapa tapi kuturuti kemauannya

beberapa hari kemudian aku masuk sekolah kembali
beberapa kaca jendela sekolahku pecah
begitu pula dengan gereja di samping sekolahku

aku tidak begitu ingat apa yang kupikirkan saat itu
atau apa yang kurasakan saat itu
mungkin aku tidak benar-benar berpikir atau merasakan
mungkin aku tidak benar-benar sadar saat itu
tapi satu hal yang pasti
aku telah menjadi saksi sejarah negri ini
yang mungkin takkan dilihat lagi oleh anak cucuku

Vermillion

Selasa, 25 Mei 2010

the truth

The truth that you need to sacrifice your ego before getting something priceless
The truth that you need to suffer more than anyone else in this world before you can be satisfied with your development
The truth that you need to throw away your dream before gaining again your true dream
The truth that you need to kneel down in a place that torturing you before you stand among the others
The truth that you need to be good and kind before you can be cruel and deadly dangerous
The truth is that you need to on the bottom before you can be up there and beyond of the others

rein

Akhir yang Baik

Ini adalah satu hari yang tak pernah aku perkirakan akan terjadi di akhir masa SMA-ku. Mungkin ini sesuatu yang biasa untuk banyak orang. Apalagi bagi mereka yang dapat hidup berkecukupan dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Namun ini berbeda bagi diriku biasa-biasa saja dan pernah merasa kehilangan masa muda ketika masuk SMA.
Biarlah aku ceritakan lebih jelas kehidupanku di masa dulu sebelum menceritakan apa yang terjadi saat ini. Yang terjadi saat ini biarlah menjadi sesuatu yang akan Anda semua baca di bagian akhir dari kisah ini. Sekali ini aku ingin mencoba membuat akhir cerita yang indah menurut versiku sendiri. Sekali lagi, mungkin kisah ini biasa-biasa saja bagi banyak orang tapi bagiku sendiri ini menjadi sesuatu yang berarti.
Sewaktu aku masih TK, ketika aku baru sadar bahwa aku hidup di dunia ini sebagai seorang anak dari sebuah keluarga sederhana. Sesuatu yang menyedihkan terjadi di tengah chaos pada Mei 1998. Ini bukanlah kisah yang menyenangkan, karena banyak anak sebayaku berakhir dengan nasib tragis entah karena terbunuh, diculik, atau bahkan menghilang. Namun seperti orang-orang lainnya. Hampir separuh dari masa depanku terenggut begitu saja. Aku ingat betul apa yang terjadi pada masa-masa itu. Kekuatiran terjadi di mana-mana, banyak daerah yang dijarah dan dirusak begitu saja oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab. Di masa itu aku kurang lebih berusia 6 tahun dan sebentar lagi akan masuk ke jenjang pendidikan SD. Yang bisa dikatakan harus menguras uang lagi untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Malam itu seperti malam-malam yang biasa. Aku ingat bahwa saat itu aku baru saja mulai bisa membaca dan mengenal waktu. Kurang lebih pukul 22.00 telepon berbunyi nyaring. Dan ibuku mengangkat telepon yang entah dari siapa.
Sesaat setelah ibu menutup telepon, dia memanggil ayah dan kemudia menangis. Aku yang masih kecil belum sadar tentang apa yang telah terjadi. Aku hanya mendekat kepada ibu dan bertanya, “Ada apa, Ma?”
Ibuku hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Toko kita di Cipete dijarah dan dibakar.” Sambil terus terisak dia kembali menangkupkan tangannya ke wajahnya dan tak berhenti dalam isakan dan tangis kesedihan.
Aku kembali berpikir. Tapi aku belum mengerti apa yang telah terjadi. Malam itu aku tidur dengan perasaan dingin yang menyelimuti dada yang sejujurnya aku tak mengerti artinya.
Esok paginya aku mendapat sebuah kesimpulan dan aku berkata pada ibu.
“Ma, berarti aku tak bisa sekolah lagi ya?”
Itu hanyalah sebuah pertanyaan jujur yang terlintas dalam benak polos seorang anak kecil. Pada saat itu aku sadar, sulit untuk meneruskan sekolah jika mata pencaharian suatu keluarga sudah hancur.
Namun, nasib berkata lain untuk diriku. Mungkin aku adalah satu dari segelintir anak yang beruntung yang masih bisa meneruskan sekolahnya. Salah satu kakak ibuku yang tidak menikah mampu membiayai sekolahku sampai aku sekarang lulus SMA. Dan dia pulalalh yang menjamin kehidupanku untuk bisa melanjutkan kuliah ke depannya.
Dikarenakan adanya seseorang yang mensponsori hidupku dalam bidang material inilah aku terdorong untuk menjadi berprestasi. Karena aku tak ingin mengecewakan orang yang telah menaruh harapan begitu besar. Aku tak mungkin mengecewakan orang tuaku. Namun lain ceritanya bila ada begitu banyak orang yang menaruh harapan seperti kedua kakak laki-lakiku yang berbeda jauh umurnya denganku dan seorang tante yang selalu siap membantuku dalam masalah pendidikan dan materi.
Aku berusaha untuk bisa memenuhi harapan mereka. Mungkin tanpa aku sadari aku pernah membuat mereka semua kecewa. Namun aku sendiri berusaha menyenangkan hati mereka semua.
Aku ingat pertama kalinya aku mengikuti lomba saat aku kelas 5 SD. Aku sadar seorang guru yang merupakan wali kelasku saat itulah yang berjasa besar untuk menemukan bakatku yang selama ini tak terlihat. Beliaulah yang pertama kali mendorongku untuk menjadi lebih berprestasi. Dia menyuruhku untuk ikut lomba sinopsis yang diadakan oleh pemerintah. Meskipun saat itu hanyalah lomba tingkat sector, tapi setidaknya aku menjadi pemenang di posisi 2 sedangkan lawanku yang lain berasal dari kelas 6 SD dan ada di antara mereka yang tak mendapat peringkat apa-apa.
Semenjak aku mengenal guru inilah banyak orang yang sadar aku cukup berbakat dalam hal matematika dan logika. Dan begitu aku menginjak kelas 6 SD, guru-guru di sekolahku memberiku kesempatan untuk ikut serta dalam berbagai lomba baik dalam matematika maupun mata pelajaran beregu.
Aku ingat aku pernah lolos sampai final untuk lomba matematika dan bahkan pernah juara 1 untuk lomba mata pelajaran beregu. Aku tahu pasti, bila aku tak pernah mengenal wali kelasku ketika aku kelas 5 SD maka aku tak akan pernah mencapai apa yang kuraih ketika aku kelas 6 SD.
Akupun pernah dianjurkan untuk meneruskan ke SMP yang masih satu yayasan dengan SD-ku dulu. Namun aku menolak, padahal nilaiku cukup bagus dan ternyata aku masih dapat keringanan sebesar 50% untuk uang pangkal dan iming-iming untuk masuk kelas akselerasi. Namun aku tetap menolak karena ingin masuk ke SMP yang background pengajarannya sama dengan iman yang aku percayai.
Tapi aku tetap tak melupakan jasa guru yang telah menemukan suatu hal baru dalam diriku. Terhitung begitu aku masuk SMP dan tidak meneruskan pendidikan di sekolah yang direkomendasikan SD-ku sebelumnya. Aku kadang masih berjumpa dengan guru itu meski keadaannya sekarang sudah sedikit menyedihkan karena dia masih mempunyai anak yang masih kecil sedangkan tubuhnya mulai digerogoti oleh penyakit-penyakit yang membuat dia tak mampu berbuat sebanyak dulu. Namun tetap dia menjadi bagian yang penting bagi perkembangan awal kehidupanku sampai sekarang ini.
Aku memasuki sebuah dunia yang jauh berbeda di SMP. Aku tahu, SMP yang kumasuki adalah sebuah SMP biasa yang tidak begitu terkenal. Namun aku mendapat hal berbeda di sini. Boleh dikatakan meskipun kemampuan akademis yang dikembangkan di sini tidak begitu baik, namun aku merasa mendapatkan teman-teman sejati di sana. SMP menjadi sebuah kehidupan baru di mana aku belajar nilai-nilai moral yang tak bisa kupelajari di sekolah-sekolah lainnya. Suatu dunia berbeda yang membuat diriku sadar betapa sempitnya dunia yang kulihat saat SD. Kompleksitas dunia yang tak pernah kulihat membuka pandangan yang berbeda dalam diriku dan menjadikanku pribadi yang keras dan berprinsip saat aku menjalani kehidupan SMP-ku.
Meski masuk ke dalam lingkup yang kemampuan akademis dari guru dan muridnya berbeda jauh dengan saat aku SD, namun aku tak begitu saja lupa akan jasa-jasa orang di sekitarku. Termasuk keluargaku. Di dalam lingkungan di mana persaingan lebih mudah untuk dimenangkan, aku berusaha untuk bisa lebih. Dan tak heran aku tetap mengikuti beberapa komptetisi. Meski aku tak dapat memenangkannya karena kurangnya bimbingan materi yang diberikan. Setidaknya aku bisa mengharumkan nama sekolah sampai tingkatan tertentu dan menjadi yang terbaik di antara teman-temanku.
Tanpa aku sadari pula. Karena presetasi yang baik saat SMP aku ingin masuk sebuah SMA swasta yang cukup terkenal dan mempunyai nama. Aku merasa mampu masuk ke sana dan berprestasi serta masuk jurusan IPA. Karena aku tahu, selama ini saat SMP aku merasa meski tidak belajar pun toh aku tetap mampu menjadi salah satu yang terbaik yang pernah dimiliki sekolahku.
Namun akhirnya aku harus menelan kesombonganku sendiri. Aku harus sadar ada langit di atas langit. Aku yang saat SD dan SMP terbiasa menjadi yang terbaik di antara yang terbaik harus kembali menelan ego-ku. Aku harus bersaing dengan sejumlah orang yang jauh lebih pintar dariku dan pernah menerima pendidikan yang jauh lebih bagus dariku sendiri.
Bagi sebagian besar orang, mungkin aku terlihat seperti orang bodoh yang termakan ego-nya sendiri. Namun bagi orang yang pernah berada di puncak tanpa usaha yang berarti dan harus jatuh ke jurang rasanya hal itu merupakan hal yang menyakitkan. Ada kalanya aku ingin berusaha dengan baik agar bisa kembali menapaki jalan ke puncak. Namun aku terlalu malas untuk melakukannya. Ada kalanya aku merasa lebih baik aku pindah sekolah dan tak perlu lagi bersekolah di tempat di mana aku tak bisa menjadi berprestasi. Namun aku merasa seperti pengecut yang lari dari pertarungan sebelum tahu bagaimana hasil akhir dari pertarungan tersebut.
Aku tahu aku belum kalah. Namun diriku menolak untuk berjuang. Bisa dikatakan saat aku baru masuk SMA aku benar-benar stress. Saat ini, aku merasa alasanku untuk jatuh depresi seperti dulu merupakan alasan yang bodoh. Namun saat itu aku benar tak bisa menerima kejatuhanku. Dan aku menyikapinya dengan cara yang salah. Aku semakin malas belajar. Aku pun tak peduli lagi apakah nilaiku jatuh atau tidak yang penting aku naik kelas.
Pada akhirnya, jurusan yang aku masuki begitu aku naik kelas XI jauh dari ekspektasi orang banyak. Banyak yang mengira dengan kehebatanku waktu SMP aku akan masuk ke jurusan IPA. Namun akhirnya aku memilih sebuah jurusan minoritas yang menurut banyak orang tak menarik karena tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Tapi aku tetap pada pendirian (sesuatu yang berharga yang pernah kuterima saat SMP adalah pendirian yang kuat) bahwa aku harus menyelesaikan apa yang telah menjadi pilihanku sendiri. Masuk ke SMA ini adalah pilihanku. Jurusan yang kupilih juga adalah pilihanku sendiri. Tak ada kata menyesal untuk diriku. Maka aku putuskan untuk berjuan habis-habisan di sini. Meski aku tak menjadi yang terbaik, tapi aku menemukan bahwa diriku mempunyai sesuatu yang lebih. Di mana aku bisa mengembangkan kemampuanku tentang komputer. Aku menemukan kembali diriku.
Sedikit banyak setelah aku semakin mendalami perkomputeran, aku ingin sekali mempunyai sebuah laptop. Karena komputer sudah menjadi bagian dari hidup yang harus dimiliki di kota besar. Maka aku benar-benar ingin mempunyai sebuah laptop. Namun aku sadar, aku tak layak meminta lebih pada tante yang selama ini membantuku dalam masalah biaya. Karena aku merasa sudah berutang budi begitu banyak padanya.
Aku tak berani mengajukan permintaan ini. Aku tahu, orang tuaku sendiri tak mampu untuk membelikan satu unit laptop. Jadi buat apa aku mengajukan suatu permintaan yang tak mungkin dipenuhi orang-orang di sekitarku. Maka aku putuskan untuk menyimpan keinginan ini dalam hati.
Akhirnya waktu terus berjalan. Aku sebentar lagi akan lulus SMA. Aku sudah mendaftar di sebuah universitas dan diterima dengan baik di sana. Aku hanya tinggal menunggu pengumuman hasil UAN dan UAS.
Di hari ketika hasil itu keluar, saat aku datang terlambat ke sekolah tiba-tiba teman-teman satu jurusanku memberikan selamat padaku.
“Rein, kamu mendapat nilai tertinggi dalam jurusan kita!!! Selamat ya!!!”
Aku sedikit kaget. Selama SMA ini aku tak pernah menjadi yang terbaik. Selama SMA ini bakatku hanya diakui segelintir orang yang tak bisa mengembangkan bakatku lebih jauh. Terlebih lagi aku merasa bahwa bakatku tak pernah diakui di sekolah. Namun tiba-tiba aku menjadi yang terbaik untuk satu hal yang tak pernah aku bayangkan. Setidaknya ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi diriku.
Akhirnya setelah segala pengumuman itu selesai, beberapa hari kemudian aku memutuskan untuk pergi ke Bandung untuk liburan di rumah kakakku. Namun belum ada seminggu aku di sana. Ibuku mendapat telepon untuk datang ke sekolah karena aku mendapat penghargaan.
Awalnya aku bingung. Apalagi mau sekolah ini? Akhirnya begitu aku kembali ke Jakarta dan pergi ke sekolah untuk memastikan hal itu aku mendapat sebuah kejuatan.
Ada guntingan koran terpampang di papan pengumuman sekolah ku dengan judul ‘Siswa berprestasi mendapat laptop’.
Aku berjalan mendekati guru dan guru itu berlari ke kantornya dan mengeluarkan sebuah bingkisan yang menurutnya dari pemerintah.
Tiba-tiba kepala sekolah mendatangiku dan berkata, “Katanya sih hadiahnya laptop.”
Akhirnya kubuka bingkisan itu di depan kepala sekolah. Dan benar saja itu laptop.
Mungkin ini memang jalan Tuhan atas pencapaian yang aku perjuangkan. Memang jalan Tuhan aku harus terjebak dalam masa SMA yang bisa dikatakan tak sebahagia bayangan orang-orang sebelum akhirnya mendapat akhir yang memuaskan.
Dan dengan laptop mini inilah aku menuliskan kisah ini.

Selasa, 18 Mei 2010

ANJING

"Anjing!"
anjing itu binatang
anjing itu hewan
anjing itu bukan manusia

"Anjing!"
Begitu kata ayahku
saat mengemudi di jalan raya
dan hampir tertabrak mobil
dari arah yang berlawanan

"Anjing!"
Begitu kata ibuku
ketika ia mengangkat jemuran
dan seluruh jemurannya jatuh ke tanah

"Anjing!"
Begitu kata teman-teman ku
ketika mereka jengkel

"Anjing!"
Begitu kata seorang asing
saat ia melihatku

"Anjing!"
"Jadi aku ini anjing atau manusia?"

Vermillion
18-5-10

an alinea

I wanted to reach the world
but my hands are too small
I wanted to stay down here
but they rejected me
Now I have nowhere to live
and got no purpose
and I just don't know
how to move forward with it

Vermillion
(9/5/10)

Di saat manusia berpikir

Di saat maunisa berpikir
ia mulai kehilangan kepercayaannya
Di saat manusia berpikir
ia mulai melakukan kesalahan
Di saat manusia berpikir
ia mulai sadar kalau ia salah
Di saat manusia berpikir
ia mulai menyesal
Di saat manusia berpikir
ia mulai membenci dirinya
Di saat manusia berpikir
ia mulai kehilangan dirinya

Di saat manusia bepikir,
"ah, mengapa pula harus kupikirka?"

Vermillion
(19/3/10)

Jumat, 30 April 2010

why Baskin Robin than Hagen Daaz?

I think it has been a long time since my last post...

Actually i'm not in a good mood of writing for several weeks lately.
But i think i need to write, to get some fresh air.

Well, i don't mean to promote those ice creams but people always make comparison between those trade marks. And this is my opinion...

I prefer Baskin Robin. Why?

First of all, i haven't taste Hagen Daaz before, so i can't judge whether it's good enough or not.

Secondly, i got Baskin Robin voucher from a bank, that's mean i can enjoy that precious ice cream for free or cheap (less than Rp 10.000 for a 3 scoop sundae. yum!). Trust me, if i've never got voucher for hagen daaz i won't taste it for entire of my life. (or at least somebody wanna pay for me :P )

Last, and also the least....
this is not so important reason, but somehow it affect me.....
in south korea....
BASKIN ROBIN HAVE BIG BANG FOR IT'S COMMERCIAL!!!!!
(maybe you can hear a fan girl scream only by reading this sentence)

~vermillion

Jumat, 23 April 2010

Missing Grandma

Today is the day i got a priceless job.
Yeah i became a photographer with a 3.2mp camera... WTF!

Let's begin the story...
My mom is a member of some sort of teachers in a Women Improving Ability (i don't know what it called in english, indonesian name for that group is Kursus Ketrampilan Wanita) in my church.
So, for the 30th Anniversary of that group, the whole member took me as the photographer.
With just a dumb camera (3.2 mp) and 2 memory card (64MB and 16MB) i went to the church just to do my job.
Before going there, we (my mom, her friend, and i) went to a house of a grandma.
This grandma is also a former teacher at that group.
She is quite old, maybe about 70yo.

Yeah, we went to the church together.
Before starting my job as photographer, i need to do all the things that they cannot handle for this anniversary.
So I became "anything-worker".
I need to rearrange the placement of this and that.
Took some snack to the place.
etc....

And what i got from this are just drink, snack, and lunch :D
A priceless job!!!

:D

Finally when i wanted to go home.
I realize something....
The granny (from the story before) is gone.
But her handbag ( purse maybe) still in the room!!!!
Where is she?

No doubt!
i thought that she went home with somebody else but forgot to take her handbag.
So i decided to take her bag and hand it to her house. :D

When i arrived at her house.
Her husband appeared.
I tried to give the reason why the handbag of his wife is in my hand.
And after saying the possibility that she went home before me
He said "Now, where's the granny?"
WTF!!!
i don't know where is she!!!
I just wanted to go home when i realized she disappeared.
"so she didn't go home yet?" i replied.
"not yet"
OMG!!!
what should i do?
"I will phone my mom, to make sure where she is..."

Suddenly a car honking!!!

THE GRANNY TOOK OFF FROM THAT SILLY CAR!!!!!
SHE FORGOT TO SAY THAT SHE WENT HOME FIRST AND SHE REALIZED THAT HER BAG WAS MISSING, CAME BACK TO CHURCH WITHOUT KNOWING THAT HER HANDBAG WAS IN MY HAND!!!!

OMG.....
What a pitty...
I'm tired of panicking when realize she was gone...

Minggu, 04 April 2010

Penantian

Penantian ini terasa begitu panjang
Detik dan menit berlalu
Namun kau tak kunjung datang
Sekali lagi kupandang sebuah mesin kecil yang ada di tanganku
Sebuah jam yang terikat dengan tali kecil di pergelangan tanganku
Sudah sepuluh menit aku menunggumu
Dan kau tak kunjung datang

Orang-orang berlalu lalang di sekitarku
Sedikit memperhatikan keresahanku di tegah penantian
Sebagian berdiri dan memandang tak peduli
Beberapa lainnya hanya diam dan memperhatikan gerak-gerikku
Sebagian lain bertanya apa tujuanku menanti dirimu
Pertanyaan yang mereka ajukan malah membuatku semakin resah

Sekali lagi detik dan menit berlalu
Dan kau tetap tak menampakkan diri
Kulirik benda mekanis kecil di pergelangan lenganku
Tiga puluh menit telah berlalu

Ada pula orang-orang di sekitarku yang sedang menunggu seperti diriku
Dan keresahan dalam aura mereka membuat ku khawatir
Apakah kau benar akan datang atau tidak
Sesaat ketika kumemandang ke arah jalan besar itu
Terlihat seorang temanmu berjalan ke arahku
Namun saat aku mendekatinya
Dia malah menjauh dariku dan menolak kehadiranku
Aku pun semakin putus asa

Kulirik lagi jam kecil di tanganku
Sudah empat puluh lima menit berlalu
Dan beberapa orang di sekitarku yang memulai penantian yang sama
Mulai beranjak pergi dan tak peduli lagi

Aku semakin ragu
Tapi aku ingin bertahan
Aku ingin percaya kau datang
Meski aku merasa kemungkinan itu sangatlah kecil
Meski keputusasaan mulai merasuki nadi-nadiku
Aku masih ingin percaya
Karena kaulah satu-satunya harapanku
Satu-satunya yang dapat menjadi tumpuanku di saat seperti ini

Aku menatap kembali ke arah jalan
Dan menemukan secercah harapan
Tak seperti temanmu yang menolak kehadiranku
Sosokmu yang abu-abu itu membawa kebahagian dalam hidupku
Aku tahu tak sia-sialah penantianku
Menunggumu BUSWAY!

(intinya sih ini di shelter busway!!!)

Rein

Sabtu, 13 Maret 2010

Squirrel

(based on the previous post, edited and translated by Rein)

"Even though squirrel has a great skill of jumping, one day he will fall", said the grandfather.

"So what happened to the squirrel after he fell down?", asked the boy.

The grandfather just smile and wondering about how smart his grandson is.
The boy was still curious about the answer but he kept silent.

The boy grew up, at that time he was in the school and the teacher said the same thing like what his grandfather's said.

"Squirrel has a great skill of jumping, but one day he can fall down, when he jumped from a tree to another"

Than, the boy asked the same thing.

"So what happened to the squirrel after he fell down, Sir?"

The teacher shocked. Confused with the boy's answer. He didn't know how to answer that question, but still he was a teacher. He need to show how smart he is to his students.

"The main thing from what I said before is not about what will happen after the squirrel fell down, Kid!", said the teacher.

Knowing there's no point to argue, the boy put that question deep into his heart. Yet, he still wondering about the answer.

The little boy grew up and became a man with a great talent, gorgeous look, and good living. But still he couldn't find the answer for a simple question. So, he lived his life with no reason. No point. He had a good life but his heart was empty. Without a simple answer for his simple question, his life was incomplete.

One day, his life became upside-down. He got a problem with his lungs. The doctor said he would live just for a short term and in order to prolong his live, the doctor suggested him to live on a hill with a fresh air to clean his lungs.

He moved to a hill and lived in a small villa. Now he filed his live in a different way. He spent most of his time by reading a book near a window.

In an unusual day, he wanted to read a book in his terrace. So, he walked out from his villa, sat down on a chair and saw a clear view of trees before reading the book.

There's a spot on a tree that distract him. With his curiosity, he walked towards the tree from after he saw a squirrel jump from a tree to another. He found out that the squirrel brought two acorns on his hands.

Although the squirrel had skill to jump, he couldn't move easy when he landed after jumped from a tree. Unluckily, when the squirrel wanted to jump to a tree, where's he had a hole to live in, he slipped away, almost fell down but lost his acorns.

The man was curios to what the squirrel would do. He saw that the squirrel went down from the tree and searched for his acorns behind the crowdy grass. It took sometime until the squirrel found two acorns. The man still studying the squirrel's behavior and finally the squirrel came into his hole.

The man asked a question to himself. "Why the squirrel take two acorns for himself? One is enough for himself."

He peeked inside the hole. He found out that the squirrel had two children inside it.

Two days after found out the answer of the squirrel, the man was death in peace, although he had a regret for living his life with no point to struggle. Unlike the squirrel who struggled for his children even he had to fall down thousand times. But still now his life was complete.

Rabu, 03 Maret 2010

Tupai yang Hilang

Alkisah ada seorang anak laki-laki yang tinggal bersama dengan kakeknya. Suatu hari, saat mereka sedang berjalan-jalan di taman, sang kakek memberikan nasihat bagi cucunya.

“Kita tidak boleh sombong. Ingat sepandai-pandainya tupai melompat, jatuhnya ke lubang juga”

Demikianlah nasihat sang kakek. Tentulah nasihat bijak tersebut tidak sembarangan ia berikan kepada cucunya. Mengingat usianya yang sudah melebihi setengah abad, pasti pengalamanya telah banyak memberikan pelajaran hidup baginya.

Akan tetapi, anak laki-laki itu sangatlah pandai. Ia penuh rasa ingin tahu dan selalu bersemangat. Ia pun langsung bertanya pada kakeknya.

“Lalu bagaimana nasib tupai itu, Kek?”

Kakeknya pun sangat kaget mendengar pertanyaan dari cucunya itu. Ia tidak pernah mendapatkan pertanyaan semacam itu apalagi memikirkan jawabannya. Tetapi ia malah tertawa dan berkata

“Hahahaha…. Kau memang sangat pandai cucuku. Suatu saat nanti kau pasti akan menjadi orang sukses”

Tetapi anak laki-laki itu tidak menginginkan suatu pujian. Ia menginginkan jawaban dari pertanyaannya dan kakeknya tidak mampu memenuhinya.

Beberapa tahun kemudian, anak laki-laki itu pun bersekolah. Ia termasuk murid yang cerdas dan cekatan. Ia juga mudah bergaul sehingga tidak heran kalau ia memiliki banyak teman.

Saat pelajaran di sekolah, anak laki-laki itu mendengar sang guru berpesan.
“Dalam hidup ini tidak ada orang yang dapat hidup bahagia selamanya tanpa merasa kesulitan sedikitpun. Ingatlah, sepandai-pandai tupai melompat jatuhnya ke lubang juga”

Anak laki-laki itu pun teringat akan perkataan kakeknya beberapa tahun lalu. Dengan penuh harapan ia pun segera mengajukan pertanyaannya yang dulu tidak bisa dijawab kakeknya.

“Bu, bagaimana nasib tupai yang jatuh itu? Apa yang terjadi padanya?”
Sang guru begitu kaget mendengar pertanyaan muridnya. Ia belum pernah mendengar pertanyaan semacam itu, apalagi memikirkan jawabannya. Tetapi ia malah berkata pada muridnya,

“Dari mana kau mendapatkan pertanyaan seperti itu?”
Anak laki-laki itu pun menjawab dengan jujur.

“Saya hanya penasaran saja bu guru”

“Sebaiknya kau tidak usah memikirkan hal itu. Masih banyak hal lain yang lebih penting yang harus kau pelajari”

Kemudian sang guru meneruskan pelajarannya dengan topik yang lain. Tentu saja anak laki-laki itu amat kecewa. Apalagi sang guru malah mengganggap pertanyaannya hal yang tidak penting. Padahal baginya hal tersebut sangat membuatnya penasaran.

Tahun demi tahun berlalu. Anak itu pun tumbuh dewasa. Ia tampan, cerdas, atletis, dan penuh talenta. Ia lulus dari bangku kuliah dengan predikat cum laude. Di tempat kerjanya ia menjadi orang yang sangat dihormati oleh rekan-rekan kerjanya. Hidupnya seolah boneka porselen cantik dan tanpa cacat. Walaupun demikian hatinya merasakan kekosongan yang sangat dalam karena ia belum mendapatkan apa yang ia inginkan. Jawaban atas pertanyaannya. Sampai saat ini belum ada orang yang benar-benar serius menanggapi pertanyaannya. Ia pun mulai mempertanyakan dirinya sendiri. Benarkah hal itu memang sangat penting, atau hanya ilusi semata?

Akhirnya anak laki-laki itu pun menua. Ia terkena penyakit kronis yang menyerang paru-parunya. Karena kondisi kesehatannya yang memburuk, dokter pun menyarankannya untuk tinggal di daerah pegunungan, di mana pohon-pohon tumbuh subur, udara bersih, dan burung-burung bersiul merdu. Ia pun pindah ke sebuah villa sederhana di daerah pegunungan yang masih asri. Saat sedang berjalan-jalan di tengah hutan di dekat villanya, anak laki-laki itu melihat ke atas pohon ek yang besar. Ada beberapa ekor tupai sedang berlompatan ke sana ke mari sambil mengambil buah dari pohon tersebut.

Ia memutuskan untuk mengamati salah satu tupai tersebut. Tupai itu terus melompat dari dahan satu ke dahan yang lain. Setiap kali ia meompat ia berada semakin tinggi dari tanah. Terus melompat ke atas, mendekati pucuk, menjauhi tanah. Akhirnya setelah mendapatkan cukup buah tupai itu melompat masuk ke lubang. Ya, ia masuk ke lubang dan bukan jatuh ke lubang.

Rasa ingin tahu anak laki-laki itu muncul kembali. Ia bergerak mendekati pohon ek itu dan melihat ke dalam lubang yang dimasuki si tupai. Ternyata di dalam lubang itu ada tiga ekor anak tupai kecil. Mereka sedang menikmati santapan lezat hasil jerih payah orang tuanya.

Di akhir hayatnya anak itu memang tidak menemukan jawaban atas pertanyaanya. Tapi ia menemukan bahwa nasihat sang kakek dan sang guru salah. Tupai yang pandai melompat itu akan terus melompat tinggi sampai ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Setelah mendapatkannya ia akan masuk ke dalam lubangnya dan membagikan kebahagiaannya pada tupai lainnya. Tidak ada tupai yang jatuh karena mereka memutuskan sendiri untuk masuk ke dalam lubang. Setelah melihat kejadian itu, anak laki-laki itu pun menutup matanya dan ia melihat cahaya menerangi dirinya.

~vermillion92
ps : cerpen pertama yang berhasil selesai!!!!

Sabtu, 27 Februari 2010

Kebencian itu turun ke hati dan membatu di sana

Apa yang akan terjadi bila anda mengkalkulasikan emosi yang selama ini anda rasakan di dalam hati anda tanpa mengeskpresikannya lebih lanjut?

Apa yang akan terjadi bila kebencian yang anda rasakan tidak dapat anda keluarkan?

Apa yang terjadi bila rasa benci dan amarah itu hanya dapat anda pendam setiap hari, selama berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun?

Akhir-akhir ini, perasaan seperti itulah yang terus menghantuiku. Perasaan terkekang akan emosi pribadi yang tak pernah bisa diekspresikan dengan sempurna. Yang akhirnya malah membuatku memukul-mukul benda keras (seperti tembok ) atau bahkan mengerang tanpa mengeluarkan suara hanya untuk mengeluarkan emosi itu (meski cara-cara seperti ini tidak akan sepenuhnya berhasil meredam rasa-rasa itu, karena perasaan itu sekejap redam karena rasa sakit fisik, sedangkan sakit dalam hati tak akan pernah hilang).

Aku merasa semua hal ini adalah suatu kegilaan. Aku sebenarnya tak sanggup untuk bertahan lebih lama lagi. Hanya karena alasan-alasan tertentulah aku berpura-pura untuk bertahan (yang pada akhirnya malah menambah luka dalam hati).

Aku tahu, aku harus menghentikan kegilaan ini. Tapi apakah aku bisa. Kebencian dan kehancuran yang menenggelamku berasal dari seorang yang mempunyai pertalian darah denganku. Seseorang yang tak bisa kusingkirkan begitu saja dari hidupku. Karena mau tak mau aku tinggal seatap dengannya dan hidupku terikat dengannya. Tak mudah untuk membenci orang yang begitu dekat dengan kita. Apalagi aku menyadari bahwa semua ini terjadi karena perubahan sikapnya begitu aku telah dewasa di mana kenangan-kenangan indah masa kecil bersamanya masih terpatri dalam ingatanku.

Semua menjadi kontradiktif, dan itu semua berlaku hanya dalam diriku. Karena dia selalu bersikap tak peduli akan perasaan orang lain. Selalu melakukan apa yang dia inginkan tanpa melihat apa akibatnya bagi orang lain. Tanpa melihat seberapa banyak orang yang disakiti karena tindakannya, termasuk diriku sendiri dan orang-orang lain yang aku cintai.

Aku pun hanya bisa mempertanyakan kapan semua ini dapat berakhir, apakah kematianku atau kematiannya dapat memberikan sebuah jawaban atas pertanyaan ini?

Kamis, 25 Februari 2010

Kegilaan itu terjadi lagi

Ini adalah fakta dari sebuah sekolah yang ingin berisi para megalomania yang merasa dirinya selalu benar dan tak pernah tahan akan sebuah kritik yang sebenarnya benar-benar tepat sasaran untuk orang-orang seperti ini.

Saya hanya ingin mempertanyakan sebuah sudut pandang baru pada anda semua. Apalah arti sebuah motto dalam hidup? Sejauh yang saya tahu, motto adalah sebuah statement yang memotivasi hidup anda. Dan bila ada sebuah quotes kritik sosial yang isinya dapat memotivasi hidup anda, tidak ada salahnya menjadikan statement tersebut sebagai sebuah motto dalam hidup anda.

Di sisi lain, sebagai seorang akademisi, sebut saja seperti itu, anda pasti mengenal apa yang disebut sebagai paper yang akan disebut dalam bahasa Indonesia entah sebagai karya tulis, skripsi, disertasi, dan sebagainya. Dan sebagai seorang siswa SMA, tugas pertama yang saya hadapi adalah sebuah karya tulis, sebuah bentuk penelitian sederhana sebagai syarat kelulusan SMA.

Bagi anda yang pernah membuat karya-karya yang seperti saya tuliskan di atas, tentu anda tidak asing bila di dalam skripsi atau karya tulis anda, umumnya ada sebuah halaman berisi halaman motto. Sebuah halaman yang dinyatakan untuk menuliskan kata-kata yang menjadi motivasi hidup anda selama ini, atau minimal kata-kata yang memotivasi anda selama membuat karya tersebut.

Ada sebuah Quotes yang lumayan terkenal dari seorang pemuda yang telah mati 31 tahun yang lalu, Soe Hok Gie. Bagi anda yang lahir di tahun-tahun tersebut, pasti anda mengenal namanya lebih dari apapun, setidaknya anda tahu siapa dia. Quotes itu adalah “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”. Sebuah kata-kata yang menarik yang pantas untuk direnungi lebih dalam. Dan inilah kata-kata yang saya cantumkan dalam karya tulis saya, yang pada saat itu kebetulan memang membahas tokoh ini.

Dan sebenarnya ada sebuah Quotes lagi dari Soe Hok Gie, yang benar-benar menyindir dunia pendidikan di saat dia masih sekolah dulu. (kita membiacarakan masalah di 31 tahun yang lalu). Kata-kata tajam itu berbunyi, “Guru yang tak tahan kritik pantas masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan murid bukanlah kerbau”. Ini adalah sebuah pemikiran dari orang yang hidup sekitar 3 dekade lalu.

Seorang teman saya, lebih tepatnya dua orang teman saya menggunakan kata-kata ini sebagai bentuk motivasi dalam karya tulis mereka. Kalau kita mencantumkan hal ini pada halaman motto, apakah ini akan menjadi sebuah hal teknis yang perlu diperhatikan oleh seorang pembimbing teknis dari penulisan karya tulis?

Hal ini saya serahkan pada anda semua yang kebetulan membaca tulisan ini, saya hanya berusaha memaparkan apa yang terjadi pada teman-teman saya dan pendapat pribadi saya dalam masalah seperti ini.

Baik, saya lanjutkan cerita saya, bisa kita lihat bahwa itu adalah sebuah kata-kata yang menyindir, meski kasus yang sama dari 31 tahun yang lalu tetap terjadi di dunia ini hingga detik ini. Maka saya mengetahui suatu kenyataan mematikan yang terjadi di sekolah ini. Di mana dua orang teman saya yang menuliskan kata-kata tentang sindiran guru pada halaman motto ini dipanggil oleh pembimbing teknis karya tulis ini.

Guru yang tak tahan kritik ini (menurut saya pribadi seperti itu) mengatakan bahwa kritik tidak sama dengan motto. Menurut saya itu tetaplah bisa menjadi motto selama dapat memotivasi hidup kita. Apalah artinya sebuah kata dari orang yang meninggal tempo dulu untuk dipermasalahkan saat ini dan dilarang menjadi kata-kata untuk halaman motto? Sebuah kenyataan dan kegilaan dari ketidaktahanan mereka atas kritik sosial dan pendidikan yang pernah dilancarkan seorang pemikir yang telah mati muda di jamannnya.

Terserah anda mau menilai apa, tapi bagi saya ini adalah kegilaan atas ketidakmampuan manusia menerima kritik yang tepat mengena pada diri mereka sendiri.

Sabtu, 13 Februari 2010

The Juniper Tree

this is a folktale from Germany, I found it in many different types as in Australia, Hungary, and England. Not a story for the children, not the rhyme for the children. But still I like this story.
Long ago, at least two thousand years, there was a rich man who had a beautiful and pious wife, and they loved each other dearly. However, they had no children, though they wished very much to have some, and the woman prayed for them day and night, but they didn't get any, and they didn't get any.
In front of their house there was a courtyard where there stood a juniper tree. One day in winter the woman was standing beneath it, peeling herself an apple, and while she was thus peeling the apple, she cut her finger, and the blood fell into the snow.
"Oh," said the woman. She sighed heavily, looked at the blood before her, and was most unhappy. "If only I had a child as red as blood and as white as snow." And as she said that, she became quite contented, and felt sure that it was going to happen.
Then she went into the house, and a month went by, and the snow was gone. And two months, and everything was green. And three months, and all the flowers came out of the earth. And four months, and all the trees in the woods grew thicker, and the green branches were all entwined in one another, and the birds sang until the woods resounded and the blossoms fell from the trees. Then the fifth month passed, and she stood beneath the juniper tree, which smelled so sweet that her heart jumped for joy, and she fell on her knees and was beside herself. And when the sixth month was over, the fruit was thick and large, and then she was quite still. And after the seventh month she picked the juniper berries and ate them greedily. Then she grew sick and sorrowful. Then the eighth month passed, and she called her husband to her, and cried, and said, "If I die, then bury me beneath the juniper tree." Then she was quite comforted and happy until the next month was over, and then she had a child as white as snow and as red as blood, and when she saw it, she was so happy that she died.
Her husband buried her beneath the juniper tree, and he began to cry bitterly. After some time he was more at ease, and although he still cried, he could bear it. And some time later he took another wife.
He had a daughter by the second wife, but the first wife's child was a little son, and he was as red as blood and as white as snow. When the woman looked at her daughter, she loved her very much, but then she looked at the little boy, and it pierced her heart, for she thought that he would always stand in her way, and she was always thinking how she could get the entire inheritance for her daughter. And the Evil One filled her mind with this until she grew very angry with the little boy, and she pushed him from one corner to the other and slapped him here and cuffed him there, until the poor child was always afraid, for when he came home from school there was nowhere he could find any peace.
One day the woman had gone upstairs to her room, when her little daughter came up too, and said, "Mother, give me an apple."
"Yes, my child," said the woman, and gave her a beautiful apple out of the chest. The chest had a large heavy lid with a large sharp iron lock.
"Mother," said the little daughter, "is brother not to have one too?"
This made the woman angry, but she said, "Yes, when he comes home from school."
When from the window she saw him coming, it was as though the Evil One came over her, and she grabbed the apple and took it away from her daughter, saying, "You shall not have one before your brother."
She threw the apple into the chest, and shut it. Then the little boy came in the door, and the Evil One made her say to him kindly, "My son, do you want an apple?" And she looked at him fiercely.
"Mother," said the little boy, "how angry you look. Yes, give me an apple."
Then it seemed to her as if she had to persuade him. "Come with me," she said, opening the lid of the chest. "Take out an apple for yourself." And while the little boy was leaning over, the Evil One prompted her, and crash! she slammed down the lid, and his head flew off, falling among the red apples.
Then fear overcame her, and she thought, "Maybe I can get out of this." So she went upstairs to her room to her chest of drawers, and took a white scarf out of the top drawer, and set the head on the neck again, tying the scarf around it so that nothing could be seen. Then she set him on a chair in front of the door and put the apple in his hand.
After this Marlene came into the kitchen to her mother, who was standing by the fire with a pot of hot water before her which she was stirring around and around.
"Mother," said Marlene, "brother is sitting at the door, and he looks totally white and has an apple in his hand. I asked him to give me the apple, but he did not answer me, and I was very frightened."
"Go back to him," said her mother, "and if he will not answer you, then box his ears."
So Marlene went to him and said, "Brother, give me the apple." But he was silent, so she gave him one on the ear, and his head fell off. Marlene was terrified, and began crying and screaming, and ran to her mother, and said, "Oh, mother, I have knocked my brother's head off," and she cried and cried and could not be comforted.
"Marlene," said the mother, "what have you done? Be quiet and don't let anyone know about it. It cannot be helped now. We will cook him into stew."
Then the mother took the little boy and chopped him in pieces, put him into the pot, and cooked him into stew. But Marlene stood by crying and crying, and all her tears fell into the pot, and they did not need any salt.
Then the father came home, and sat down at the table and said, "Where is my son?" And the mother served up a large, large dish of stew, and Marlene cried and could not stop.
Then the father said again, "Where is my son?"
"Oh," said the mother, "he has gone across the country to his mother's great uncle. He will stay there awhile."
"What is he doing there? He did not even say good-bye to me."
"Oh, he wanted to go, and asked me if he could stay six weeks. He will be well taken care of there."
"Oh," said the man, "I am unhappy. It isn't right. He should have said good-bye to me." With that he began to eat, saying, "Marlene, why are you crying? Your brother will certainly come back."
Then he said, "Wife, this food is delicious. Give me some more." And the more he ate the more he wanted, and he said, "Give me some more. You two shall have none of it. It seems to me as if it were all mine." And he ate and ate, throwing all the bones under the table, until he had finished it all.
Marlene went to her chest of drawers, took her best silk scarf from the bottom drawer, and gathered all the bones from beneath the table and tied them up in her silk scarf, then carried them outside the door, crying tears of blood.
She laid them down beneath the juniper tree on the green grass, and after she had put them there, she suddenly felt better and did not cry anymore.
Then the juniper tree began to move. The branches moved apart, then moved together again, just as if someone were rejoicing and clapping his hands. At the same time a mist seemed to rise from the tree, and in the center of this mist it burned like a fire, and a beautiful bird flew out of the fire singing magnificently, and it flew high into the air, and when it was gone, the juniper tree was just as it had been before, and the cloth with the bones was no longer there. Marlene, however, was as happy and contented as if her brother were still alive. And she went merrily into the house, sat down at the table, and ate.
Then the bird flew away and lit on a goldsmith's house, and began to sing:
My mother, she killed me,
My father, he ate me,
My sister Marlene,
Gathered all my bones,
Tied them in a silken scarf,
Laid them beneath the juniper tree,
Tweet, tweet, what a beautiful bird am I.
The goldsmith was sitting in his workshop making a golden chain, when he heard the bird sitting on his roof and singing. The song seemed very beautiful to him. He stood up, but as he crossed the threshold he lost one of his slippers. However, he went right up the middle of the street with only one slipper and one sock on. He had his leather apron on, and in one hand he had a golden chain and in the other his tongs. The sun was shining brightly on the street.
He walked onward, then stood still and said to the bird, "Bird," he said, "how beautifully you can sing. Sing that piece again for me."
"No," said the bird, "I do not sing twice for nothing. Give me the golden chain, and then I will sing it again for you."
The goldsmith said, "Here is the golden chain for you. Now sing that song again for me." Then the bird came and took the golden chain in his right claw, and went and sat in front of the goldsmith, and sang:

My mother, she killed me,
My father, he ate me,
My sister Marlene,
Gathered all my bones,
Tied them in a silken scarf,
Laid them beneath the juniper tree,
Tweet, tweet, what a beautiful bird am I.


Then the bird flew away to a shoemaker, and lit on his roof and sang:

My mother, she killed me,
My father, he ate me,
My sister Marlene,
Gathered all my bones,
Tied them in a silken scarf,
Laid them beneath the juniper tree,
Tweet, tweet, what a beautiful bird am I.


Hearing this, the shoemaker ran out of doors in his shirtsleeves, and looked up at his roof, and had to hold his hand in front of his eyes to keep the sun from blinding him. "Bird," said he, "how beautifully you can sing."
Then he called in at his door, "Wife, come outside. There is a bird here. Look at this bird. He certainly can sing." Then he called his daughter and her children, and the journeyman, and the apprentice, and the maid, and they all came out into the street and looked at the bird and saw how beautiful he was, and what fine red and green feathers he had, and how his neck was like pure gold, and how his eyes shone like stars in his head.
"Bird," said the shoemaker, "now sing that song again for me."
"No," said the bird, "I do not sing twice for nothing. You must give me something."
"Wife," said the man, "go into the shop. There is a pair of red shoes on the top shelf. Bring them down." Then the wife went and brought the shoes.
"There, bird," said the man, "now sing that piece again for me." Then the bird came and took the shoes in his left claw, and flew back to the roof, and sang:
My mother, she killed me,
My father, he ate me,
My sister Marlene,
Gathered all my bones,
Tied them in a silken scarf,
Laid them beneath the juniper tree,
Tweet, tweet, what a beautiful bird am I.
When he had finished his song he flew away. In his right claw he had the chain and in his left one the shoes. He flew far away to a mill, and the mill went clickety-clack, clickety-clack, clickety-clack. In the mill sat twenty miller's apprentices cutting a stone, and chiseling chip-chop, chip-chop, chip-chop. And the mill went clickety-clack, clickety-clack, clickety-clack.
Then the bird went and sat on a linden tree which stood in front of the mill, and sang:
My mother, she killed me,
Then one of them stopped working.
My father, he ate me,
Then two more stopped working and listened,
My sister Marlene,
Then four more stopped,
Gathered all my bones,
Tied them in a silken scarf,
Now only eight only were chiseling,
Laid them beneath
Now only five,
the juniper tree,
Now only one,
Tweet, tweet, what a beautiful bird am I.
Then the last one stopped also, and heard the last words. "Bird," said he, "how beautifully you sing. Let me hear that too. Sing it once more for me."
"No," said the bird, "I do not sing twice for nothing. Give me the millstone, and then I will sing it again."
"Yes," he said, "if it belonged only to me, you should have it."
"Yes," said the others, "if he sings again he can have it."
Then the bird came down, and the twenty millers took a beam and lifted the stone up. Yo-heave-ho! Yo-heave-ho! Yo-heave-ho!
The bird stuck his neck through the hole and put the stone on as if it were a collar, then flew to the tree again, and sang:
My mother, she killed me,
My father, he ate me,
My sister Marlene,
Gathered all my bones,
Tied them in a silken scarf,
Laid them beneath the juniper tree,
Tweet, tweet, what a beautiful bird am I.
When he was finished singing, he spread his wings, and in his right claw he had the chain, and in his left one the shoes, and around his neck the millstone. He flew far away to his father's house.
In the room the father, the mother, and Marlene were sitting at the table.
The father said, "I feel so contented. I am so happy."
"Not I," said the mother, "I feel uneasy, just as if a bad storm were coming."
But Marlene just sat and cried and cried.
Then the bird flew up, and as it seated itself on the roof, the father said, "Oh, I feel so truly happy, and the sun is shining so beautifully outside. I feel as if I were about to see some old acquaintance again."
"Not I," said the woman, "I am so afraid that my teeth are chattering, and I feel like I have fire in my veins." And she tore open her bodice even more. Marlene sat in a corner crying. She held a handkerchief before her eyes and cried until it was wet clear through.
Then the bird seated itself on the juniper tree, and sang:
My mother, she killed me,
The mother stopped her ears and shut her eyes, not wanting to see or hear, but there was a roaring in her ears like the fiercest storm, and her eyes burned and flashed like lightning.
My father, he ate me,
"Oh, mother," said the man, "that is a beautiful bird. He is singing so splendidly, and the sun is shining so warmly, and it smells like pure cinnamon."
My sister Marlene,
Then Marlene laid her head on her knees and cried and cried, but the man said, "I am going out. I must see the bird up close."
"Oh, don't go," said the woman, "I feel as if the whole house were shaking and on fire."
But the man went out and looked at the bird.
Gathered all my bones,
Tied them in a silken scarf,
Laid them beneath the juniper tree,
Tweet, tweet, what a beautiful bird am I.
With this the bird dropped the golden chain, and it fell right around the man's neck, so exactly around it that it fit beautifully. Then the man went in and said, "Just look what a beautiful bird that is, and what a beautiful golden chain he has given me, and how nice it looks."
But the woman was terrified. She fell down on the floor in the room, and her cap fell off her head. Then the bird sang once more:
My mother killed me.
"I wish I were a thousand fathoms beneath the earth, so I would not have to hear that!"
My father, he ate me,
Then the woman fell down as if she were dead.
My sister Marlene,
"Oh," said Marlene, "I too will go out and see if the bird will give me something." Then she went out.
Gathered all my bones,
Tied them in a silken scarf,
He threw the shoes down to her.
Laid them beneath the juniper tree,
Tweet, tweet, what a beautiful bird am I.
Then she was contented and happy. She put on the new red shoes and danced and leaped into the house. "Oh," she said, "I was so sad when I went out and now I am so contented. That is a splendid bird, he has given me a pair of red shoes."
"No," said the woman, jumping to her feet and with her hair standing up like flames of fire, "I feel as if the world were coming to an end. I too, will go out and see if it makes me feel better."
And as she went out the door, crash! the bird threw the millstone on her head, and it crushed her to death.
The father and Marlene heard it and went out. Smoke, flames, and fire were rising from the place, and when that was over, the little brother was standing there, and he took his father and Marlene by the hand, and all three were very happy, and they went into the house, sat down at the table, and ate.

Rabu, 10 Februari 2010

to Rein

gw yakin, it has been a though week for you....

gw jg mo minta maaf seandainya, karena kesibukan masing2 dari kita, gw jadi kurang peka, dan juga ga bisa ada di samping u saat u butuh. Mungkin, di saat u harusnya istirahat, u malah harus berjuang lebih keras dari biasanya. Gw jg ga bisa ngejanjiin apa2.

mgkin ga seharusny gw nulis skrg

Selasa, 09 Februari 2010

KEMUNAFIKAN TINGKAT TINGGI

Sebuah kenyataan belom lama ini baru saja gw ketahui, kalo ternyata wali kelas gw adalah orang terbangsat yang pernah ada di jagat sekolah gw.

Semua ini berawal dari cara dia mengajar yang gak bisa diterima murid dengan mudah, karena bila kita membuat tugas-tugasnya, semua harus sesuai dengan kemauan dia. Dan bila ada suatu hal saja yang sedikit berbeda dengan keinginannya, maka akan dikritik olehnya secara habis-habisan. Apalagi jika kita mendapat tugas presentasi darinya. Dia akan mececar kita dengan berbagai pertanyaan yang seolah tak ada habisnya dan membuat kita kesal bukannya senang karena bisa menjawab pertanyaan tersebut.

Sebenarnya itu semua belum apa-apa. Tapi karena keperfeksionisannya, dia semakin menjadi-jadi. Awalnya setelah kelas kita menegurnya dengan cara mengajarnya, bahkan sampai memanggil gw yang sebernernya gak mau ikut campur, untuk menanyakan opini gw, gw hanya mendapat jawaban bahwa dia merasa kalau selama ini dengan cara mengajar seperti itu dia tak pernah bermasalah dengan murid.

Semakin lama gw semakin benci dengan keegoisannya, sedikit banyak gw mulai kehilangan respek padanya. Gw gak peduli orang mw bilang dia lebih tua atau lebih pengalaman, tapi selama ini gw gak bisa menerima cara dia yang gak adil dan gak mau dikritik gw juga gak akan respek sama dia.

Selama dikritik dia selalu berdalih kalau dia yang benar. Di sini gw setuju dengan Soe Hok Gie, “GURU BUKAN DEWA DAN MURID BUKAN KERBAU!” itulah yang seharusnya tertulis atas tangga sekolah gw, bukan sebuah tulisan yang gak berguna seperti “SMILE makes this place a better place”. Sekolah gw gak akan pernah menjadi sebuah tempat yang lebih baik hanya dengan senyum kemunafikan dari guru dan kepengecutan dari murid.

Belum lama ini sebuah klimaks sudah terjadi, meski tak semua orang tau dengan keadaan yang sebenarnya. Tapi di sini gw pengen menceritakan dengan jelas apa yang terjadi dan apa yang gw sebut klimaks dari segala kemunafikan.

Selama ini kelas gw sempat merasa kalau dia sedikit berubah (terutama anak-anak kelas gw, meski dari opini anak-anak kelas laen dia tetap menjadi orang yang luar biasa sialan). Bisa dikatakan setelah ada masalah besar antara kelas gw dengan salah satu pengajar asing, dia tak pernah mempermasalahkan masalah apapun di kelas gw. Namun tiba-tiba kelas gw mendapat sebuah pertanyaan yang mengejutkan dari wali kelas kita tahun lalu, “ada apa antara kalian dengan bu X?” Semua anak di kelas sontak kaget dan bingung karena selama ini mereka menganggap tak ada masalah yang terjadi antara kita sebagai satu kelas dengan wali kelas ini. Toh, ternyata selama dia tak pernah membicarakan apapun dengan kita, dia selalu bergosip dan membicarakan kelas kami di ruang guru. MAN!!! KURANG MUNAFIK APA COBA???!!!!

Itu hanyalah sebuah hal kecil yang dibesar-besarkan olehnya dan membuat respek gw ke dia berkurang, tapi pada saat itu gw hanya menjadi orang yang gak ambil pusing dengan persoalan itu.

Namun sekarang lain permasalahannya. Kelas gw dengan sebuah kelas ipa akan mempersiapkan sebuah seremoni bersama, dan itu membutuhkan waktu. Di sisi lain, sebagai murid tingkat akhir, kita harus menjalani berbagai persiapan ujian yang juga memakan waktu dan tenaga. Bisa dibilang kalau kita saat ini membutuhkan waktu satu hari menjadi 48jam.

Seremoni itu ternyata diadakan di tengah-tengah tryout. Sebuah momen krusial bagi kami, yang harus kami persiapkan dengan teliti ternyata berlangsung di saat yang sama dengan ujian percobaan. Ini adalah sebuah cobaan yang berat bagi kami.

Saat kita mengetahui bahwa jadwalnya akan seperti itu, seorang guru lain bernama bapak Y mencoba membesarkan hati kami untuk berbicara lewat wali kelas untuk membahas masalah ini ke kepala sekolah supaya seremoni dapat digeser waktunya. Dan dengan baik hati, bapak Y memberikan sebuah fotocopyan jadwal milik guru-guru, agar bisa memberikan data untuk menentukan kapan seremoni akan berlangsung jika waktunya diundur.

Dengan cukup percaya diri, ketua seremoni dari kelas gw berbicara dengan wali kelas. Dan saat itu wali kelas bukannya malah membesarkan hati dan memberi dukungan untuk menggeser seremoni tersebut, dia malah menjudge kalau gak mungkin seremoni itu bisa digeser. Dan dengan sikapnya yang annoying dia bertanya pada ketua seremoni, dari mana dia mendapat jadwal guru2. Mau tak mau dijawab kalau itu didapatnya dari bapak Y.

Keesokkan harinya, ketua seremoni dipanggil oleh bapak Y. BELIAU MARAH KARENA IBU X MARAH KE DIA DAN BILANG , “BUAT APA KAMU IKUT CAMPUR URUSAN KELAS ORANG LAEN!!!”

OMG, gw merasa yang wali kelas gw adalah bapak Y, sedangkan ibu X hanyalah seorang nyamuk yang gak dianggep tapi nyusahin di kelas gw.

Semenjak momen itu, respek gw ke dia tak bersisa sama sekali.

Tired

1 February 2010

Too often to be trapped in the same situation makes me sick with this kind of life
I can’t say bored, because I’m trapped.
I can’t say tired, because it’s a trap.
I can’t say hatred, because no one loves it.
It’s just a kind of horrific life to continue, if the same situation happens all the time.
All of this makes me sick, makes me wanna break down my life, just abandon it. That’s it.

What the fuck with my life?
What kind of life do I pass from today?
What kind of love and pain that I need to feel?
Sorrow always fills my day.
Cry too.
Do I need to take my life away by myself? (Although I’ve no rights to take it away)
Do I need to abandon everything that I have struggled for a long time?

Rein

Di saat segala nanah pecah

03 February 2010

Akhirnya terjadi juga skenario terburuk yang gak pernah gw suka. Terjadilah apa yang disebut kelas gw sebagai BPS (Bincang Sepulang Sekolah) sesuatu yang menurut gw bertujuan baik namun tak pernah berakhir dengan kesuksesan.

Sebutlah beberapa nama keluar dalam kelompok ini, segala kebenaran (yang bukanlah hal positif), dan juga segala kemunafikan manusia terbongkar. Sebelum semua ini terjadi gw sudah bersumpah bahwa gw tidak akan mengucapkan satu patah kata pun untuk menyerang orang dalam BPS tersebut. Dan gw menaati sumpah gw pada saat itu.

Semua menyerang satu sama lain, tanpa merasa kalau apa yang diucapkan dalam forum itu bukanlah hal yang pantas diketahui orang lain, yang semua orang katakan dalam forum itu hanyalah masalah-masalah pribadi, sentimen pribadi, yang sama sekali tak berhubungan dengan semua orang yang ada dalam forum. Dan pada akhirnya, gw hanyalah seorang pendengar yang baik, yang menelan semua kata-kata itu tanpa berkomentar apapun juga.

Seperti sebelumnya pernah gw tulis, gw masih dalam kondisi belum fit, dan dengan mendengarkan semua bullshit itu. Jujur aja, gw beneran pengen muntah. Bukan karena gw sakit juga sih. Tapi gw udah muak dengan semua kata-kata yang diucapkan dalam forum itu sendiri. Hampir semua adalah wujud dari kemunafikan BPS yang pertama kali dilakukan kelas gw setahun yang lalu.

Di sisi lain, seorang teman gw sendiri yang biasanya gak pernah marah, mendengar itu semua langsung keluar dari kelas dan membanting pintu. Gw salut sama dia. Gw sebenernya pengen banget melakukan hal yang sama namun gw tidak dalam kondisi sebagai seseorang yang cukup berani melakukan hal itu (sebutlah gw pengecut) tapi gw selama ini memang sudah terlalu sering menahan segala sesuatunya dalam diri gw sendiri.

Jujur, gw sih terserah aja, manusia-manusia di kelas gw mau berbuat apa
Tapi sebagai gantinya GW MUAK DENGAN ITU SEMUA!!!!

Rein

Selasa, 02 Februari 2010

Semakin Lelah

Jujur gw semakin lelah dengan keadaan di kelas...
Bila seseorang dapat membantu gw?
Nyatanya tak seorangpun dapat...
Akan gw ceritakan lebih lanjut apa yang terjadi...

Rein

Senin, 01 Februari 2010

Sorry for being so late to fill this blog

31 January 2010

It took a long time before I fill this blog with my word again, sincerely sorry for many people including TC and Vermillion.
I’ve been sick for almost a week, yeah now I still am sick.
Its paratyphoid, something like that actually, can’t go outside for a couple of days, can’t take a sport for a month, can’t eat this and that. Also need to drink some medicines. (Although I hare those things)
This is the second time for me of getting this kind of illness. And I never like it, same as before.
You know, although I need to rest and so on and so forth, but still I need to do many things. Hope I didn’t collapse (again)

Rein

Kembali pada sebuah konflik

31 Januari 2010

Seperti keadaan kelas gw akhir-akhir ini, gw merasa gw tersisih karena gw berada dalam kondisi netral. Sebenernya gw gak terlalu peduli dengan apa yang ada sekarang ini, tapi untuk saat ini sejujurnya gw benci mengatakannya tapi kemunafikan yang telah berakar di kelas gw udah gak terbendung lagi.

Semua ini hanyalah berawal dari rasa iri dan ketidakmampuan manusia menerima keberadaan manusia lain yang menurutnya annoying. Gw pun mulai mempertanyakan apa sebenernya arti annoying, karena menurut gw ukuran yang dipake orang-orang dalam mengklasifikasikan kata annoying itu beda-beda.

Kembali ke ketidakmampuan manusia menerima sesamanya apa adanya, dalam konflik yang saat ini terjadi di kelas gw, disadari atau tidak, ada sekelompok manusia yang tak bisa menerima keberadaan satu sosok yang cukup berpengaruh dalam kelas gw, hanya karena menganggap sosok tersebut mencari muka dsb dsb (yang dengan sendirinya gw katakana, gw gak punya impresi sama sekali untuk mendeskripsikan bagian ini menurut sudut pandang mereka, karena gw sendiri gak tw apa yang mereka permasalahkan).

Dan sekarang setelah kelas gw dan sebuah kelas lain terpilih untuk mengadakan sebuah seremoni untuk keseluruhan sekolah bersama-sama, koordinator yang ditunjuk dari kelas gw sendiri adalah sosok yang dianggap oleh orang-orang ini annoying. Kenapa mereka menunjuknya sebagai ketua? Kita sendiri tau kalau manusia tak mau menghadapi sesuatu yang mereka anggap berat dan menyusahkan jadi dikorbankanlah seseorang yang mereka benci sebagai sosok yang pada akhirnya harus bertanggung jawab penuh atas seremoni tersebut.

Gw sendiri tak bisa menyalahkan kalau sosok ini harus berkoordinasi dengan guru, sering ngobrol dengan guru atau apapun itu namanya. Tapi orang-orang melihat bahwa dengan sikap dan gerak-geriknya hal ini menjadi sebuah pertanyaan besar seperti Apakah dia hanya cari muka?

C’mon!!! siapa yang pertama kali memilih dia sebagai ketua??? Gw hanya mempertanyakan hal mendasar. Dia terpilih hanya karena kalian semua sebagai manusia-manusia munafik telah menanamkan kemunafikan kalian sampai ke akar2nya. Karena kalian tak mau menghadapi kesulitan-kesulitan yang kini dia hadapi. Gw bukannya mau bilang gw selama ini gak tw tindakan apa aja yang kalian lakukan, gw tw sosok yang gw bicarakan ini telah berbuat salah seperti yang dulu lu semua pernah singgung saat di perpus bareng2 gw, tapi menurut gw sekarang ini lu semua, manusia2 munafik yang hanya bisa mengkritik tanpa memberi kredibilitas apapun tak bisa menghakimi orang menurut jalan pikiran kalian sendiri.

Sekarang yang kalian permasalahkan adalah keputusan-keputusannya yang dibuat secara sepihak sebagai ketua. Dan sekarang kembali gw tanyakan pertannyaan paling mendasar dari keadaan kita masing-masing sebagai suatu kelas.
1. Sadarkah kalian batas waktu kita sampai seremoni tersebut semakin dekat!! Siapa yang akan membuat keputusan dengan menunggu-nunggu maka akibatnya kita tak bisa menghasilkan apa-apa.
2. Sadarkaha kalian, tugas kita menumpuk, masih ada yang harus merevisi karya tulis, dan masih ada juga yang harus menghadapi berbagai ulangan
3. Sadarkah kalian, bahwa kita sendiri dalam keadaan terjepit banyak tugas yang belum kita penuhi, jujur saja gw sampai gak tw lagi apaa yang harus gw kerjakan
4. Sadarkah kalian bahwa orang-orang seperti kalian telah menyeret orang –orang berpandangan netral untuk dijadikan kambing hitam, seperti halnya teman gw L yang kalian tarik untuk mewakili kepengecutan kalian semua

Jujur gw muak dengan keadaan seperti ini
Gw merasa gak ada gunanya gw memperjuankan pelatihan untuk seremoni ini sampai akhirnya gw jatuh sakit dan tidak bisa ikut apa-apa. Gw tw gw bukan ketua, gw juga hanyalah orang yang menjadi bagian dari seremoni ini, kenapa kita gak bisa membentuk suatu keutuhan agar seremoni ini berjalan sesuai dengan harapan kita. Waktu kita udah gak banyak lagi, gw akui gw pun banyak salah gw sering absen dari latihan karena gw dalam kondisi masih sakit dan gak boleh kecapean. Gw sendiri mengambil tindakan gak mw tw karena gw sendiri udah muak dengan tindakan kalian dan anggapan-anggapan kalian yang gak beralasan. Kalau mau dan kalau mau semua ini selesai dengan baik kenapa kita gak membuat sebuah keutuhan di mana kita bekerja bersama dan tidak membuat kritik-kritik yang menjatuhkan. Bukankah kita semua saling membantu kita perlu menopang satu sama lain agar ini semua berhasil dengan baik. Ayolah kawan kita bisa dan gw percaya akan hal itu.

Minggu, 31 Januari 2010

..lalu apa bedanya manusia?

Kingdom: Animalia
filum: Chordata
kelas: Mammalia
Ordo: Primates
Famili: Hominidae
Subfamili: Homininae
Tribe: Hominini
Genus: Homo
Species: H. sapiens

Lihat kan? Ini klasifikasi manusia.

apa bedanya manusia dengan makhluk hidup lainnya?
mari kita lihat bersama2

manusia merasa lebih tinggi karena mereka bisa berpikir
Salah besar! Bahkan lumba2 pun bisa berhitung

manusia merasa lebih tinggi karena mereka hidup terorganisir
Lihat lebah! mereka punya ratu dan pekerja, apa itu bukan organisasi?

manusia merasa lebih tingi karena mereka bisa membuat rumah
Hah? burung bisa membuat sangkarnya, singa menempati gua,
bahkan semut mebuat ruang2 di dalam tanah layaknya rumah manusia

manusia merasa lebih tinggi karena mereka sendiri yang menciptakan hukumnya
mereka terlalu angkuh dan bernafsu untuk menguasai

Padahal sains juga telah membuktikan
bahwa manusia sebagai makhluk hidup memiliki nama binomial
seperti hewan dan tumbuhan lain
manusia memiliki klasifikasi
seperti hewan dan tumbuhan

apa bedanya manusia dengan hewan?
hati nurani dan akal budi?
apa mereka saat ini masih memilikinya?
atau mereka sudah tidak lagi mempedulikannya
dan berbuat semau mereka

mereka tidak lagi mengikuti hati nurani
mereka sudah bertindak berdasarkan insting

apa yang seperti pantas disebut lebih bermartabat dari hewan dan tumbuhan?
bahkan tumbuhan dalam diamnya menghidupi para hewan

Jadi, apa yang membuat manusia berbeda?

~vermillion92

Rabu, 27 Januari 2010

Manusia

Manusia

Setiap orang selalu merasa dirinya telah memberikan yang terbaik pada orang lain, tanpa menyadari bahwa apa yang diberikan Tuhan dalam hidup ini jauh lebih baik daripada apa yang bisa diberikan oleh manusia lain.

Setiap orang selalu merasa belum mencapai yang terbaik untuk dirinya sendiri, tanpa menyadari bahwa mereka telah menumpuk sesuatu yang disebut dengan harta tanpa menyadari bahwa apa yang mereka dapatkan bisa menghidupi mereka sampai mereka masuk ke liang kubur.

Setiap orang selalu merasa menginginkan lebih dari pada apa yang telah mereka dapatkan, tanpa menyadari bahwa mereka perlu mensyukuri apa yang telah mereka miliki dan melihat apa yang mereka punya dan orang lain tak punya.

Setiap orang selalu merasa kalau Tuhan itu kejam, karena Tuhan selalu membuat segala sesuatu memiliki lawannya, seperti kebaikan dengan kejahatan, lapar dan kenyang, sehat dan sakit. Tanpa tahu bahwa tanpa adanya hal-hal negatif kita tak akan pernah menghargai hal-hal yang positif.

Setiap orang selalu menginginkan kekuasaan, di mana dia bisa membuat orang lain melakukan apa pun yang mereka inginkan. Tanpa menyadari bahwa kekuasaan Tuhan jauh lebih besar dari pada kekuasaan manusia.

Manusia selalu menganggap dirinya setara dengan Tuhan, tanpa pernah tahu benarkah Tuhan itu ada atau hanyalah omong kosong belaka.

Manusia mengangungkan agama yang mereka ciptakan tanpa menyadari bahwa apapun yang diciptakan manusia pasti memiliki kelemahan dan tak ada yang sempurna.

Manusia…. Itulah sifat dasar Manusia

(untitled yet)

Aku berada di depan gerbang neraka, mungkin aku hanya membayangkannya seperti itu. Tapi aku merasa seperti itu. Seolah dunia tempat aku hidup ini adalah jalan panjang menuju kematian yang berujung pada neraka. Tak ada lagi ketulusan dan kepolosan dari wajah dunia yang memancarkan kehangatan dari senyum dunia ini.

Sekian lama aku mencoba lepas dari keterpurukan yang ada di dunia yang hampir seluruh isinya hanyalah kebohongan. Aku mencoba untuk menciptakan sebuah cahaya kecil di tengah kegelapan dunia ini. Namun cahaya itu pada akhirnya harus tenggelam ke dalam kegelapan yang terlalu pekat untuk diisi oleh sebuah lilin kecil.

Hatiku hancur karena semua harapan yang kubangun dari cahaya kecil itu akhirnya padam. Api semangatku pun ikut padam. Aku yang semula adalah orang yang bisa menghadapi masalah dengan senyuman menjadi membenci cahaya yang tak bisa memberikan kehangatan dalam hidupku. Aku menjadi skeptis dan pesimis dalam menghadapi masalah-masalah dalam hidup. Aku menjadi aku yang berbeda.

Dulu aku percaya Tuhan itu ada, Tuhan itu menjaga dan melindungi mereka yang membiarkan hatinya tetap murni dan tak tercemar. Tapi sekarang yang kusadari adalah tuhan tak pernah ada. Jika dia memang ada, mengapa cahaya kecil yang dulu pernah kuperjuangkan agar tetap menyala dalam kegelapan harus padam?

Orang-orang di sekitarku mulai mempertanyakan tujuan hidupku, dan aku hanya menjawabnya dengan kata ‘kematian’. Aku tak tahu lagi ke mana aku harus berjalan. Selama ini terlalu banyak celah-celah suram telah kulewati, seolah dunia menjadi neraka kecil tanpa batas dan tak pernah habis. Dunia ini tak pernah seterang dahulu di saat kau masih kecil, di saat orang tuamu hanya mengajarkan hal baik pada dirimu. Dunia ini telah menunjukkan sisi jahat dan terkelam dari apa yang selama ini bisa kita bayangkan. Dan aku tak bisa menaruh apa-apa pada dunia yang telah menjadi tua dan membusuk ini.

Sekali lagi, kematian menjadi pangkal dari hidup setiap orang. Akhir dari kehidupan setiap orang adalah kematian, bukan menjadi orang sukses, terkenal, dan kaya. Semua hanya terangkum dalam satu kata, Kematian! Tak peduli seberapa hancur kariermu dan seberapa banyak hartamu, hidup harus diakhiri dengan kata kematian. Dan akhirnya aku menjadikan kematian sebagai tujuan dari hidupku. Dan orang-orang yang mendengar aku berkata tentang kematian malah semakin menjauhiku dan menghindari kenyataan sederhana yang kuungkapkan.

Aku berkata tentang kematian, bukan berarti aku ingin menghabisi diriku sendiri, mencoba bunuh diri atau terbunuh dengan sengaja. Namun aku tahu, aku tak pernah menginginkan hidup, namun pada akhirnya aku hidup di dunia seperti ini, dunia yang tak kutahu di mana letak kebenarannya. Berarti aku tak berhak menentukan tentang kelahiranku dan aku pun tak berhak menentukan kapan aku mati, biarlah itu menjadi urusan dunia ini atau urusan orang lain yang hanya menganggap keberadaanku di dunia ini harus diberantas.

Skeptis, itulah aku.
Pesimis, buat apa aku optimis dengan keadaan yang selama ini malah semakin memburuk.