Kamis, 24 Desember 2009

24 December 2009

Entah gw harus bagaimana lagi
Gw semakin membenci hari-hari liburan ini
Bukan permintaan maaf dari mereka yang gw harapkan tapi perubahan dari sebuah sikap
Gw membenci hari-hari yang gw lewati
Dan tangis gw pun takkan pernah berhenti


23 Desember 2009
Gw benci untuk mengatakan ini.
Sebenernya ini merupakan hari libur pertama.
Libur yang sebenernya ditunggu-tunggu oleh semua orang.
Sebenernya semula gw juga mengharapkan kedatangan hari libur ini.
Namun entah kenapa, sekarang gw malah membenci libur

Gw bukanlah orang yang punya segudang kegiatan anak muda di luar rumah.
Teman-teman gw terbatas untuk orang yang sering gw temui karena kegiatan tertentu atau dia bukan teman gw sama sekali.
Sedangkan gw bukan orang yang dapat bersosialisasi dengan akrab dengan orang-orang tertentu
Sehingga dapat dikatakan pergaulan gw terbatas dengan orang-orang yang gw kenal secara dekat
Dan bisa dibilang, tak banyak kegiatan hang out yang biasa dilakukan anak muda yakni, JJS bareng teman-teman dsb
Gw cenderung menutup diri gw.
Meski kadang gw mudah menceritakan sesuatu kepada orang-orang di sekitar gw.
Kebanyakan gw hanya menceritakan harapan-harapan dan pendapat, serta kejadian impulsive dan bukan sesuatu yang mendasar dan menjadi perhatian yang memakana jangka waktu lama.

Singkatnya gak ada yang tahu perasaan gw sebenernya, kecuali saat gw secara impulsive juga marah di depan mereka semua.
Dengan begitu, mingkin bisa dikatakan kalo gw memelihara seekor monster dalam diri gw yang bisa keluar sewaktu-waktu.
Mungkin selama ini gw sudah membenci tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar gw.
Mungkin selama ini meski gw membenci, tapi gw menganggap itu semua sambil lalu, tidak perduli dan mengendapkannya dalam hati.
Namun di berbagai sisi, kebencian itu terkalkulasi dengan baik dalam diri gw tanpa gw sadari.
Dan kebencian itu terus terulang tanpa gw sadari, karena gw sudah terlalu sering mengalami hal seperti ini dan membuat gw semakin tidak peduli dengan keadaan diri gw sendiri maupun keadaan di sekitar gw.
Itu pun terkalkulasi di dalam diri gw… Dan sekali lagi, semua terjadi tanpa gw sadari.

Pantaskah orang yang sebentar lagi menginjak umur 18 tahun masih bersikap impulsive?
Menurut gw sebenernya gak, tapi apa boleh buat, itu masih terjadi pada diri gw sendiri.
Gw membenci diri gw yang seperti ini.
Dan gw semakin menyadari keimpulsifan gw ini terjadi karena gw terlalu lama di rumah.
Katakanlah gw selama ini di rumah tanpa ada kegiatan di luar rumah.
Banyak menghabiskan waktu di rumah padahal biasanya gw lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah.
Gw semakin tidak terbiasa di rumah.
Setiap hari paling tidak gw marah satu kali karena tindakan bokap gw yang kadang tidak memahami situasi dan kondisi.
Setiap hari paling tidak gw marah satu kali karena kata-kata nyokap yang ingin menasehati gw yang gak pernah konsisten dengan tindakannya sendiri
Setiap hari paling tidak gw harus mendengar dua keluhan dari nyokap gw mengenai sikap bokap gw yang kadang kelewatan untuk orang berumur tua
Dan sekali lagi dengan ketidak konsistenan nyokap gw
Gw harus mendengar dia mengatakan bahwa kita harus memaklumi sikap bokap gw karena dia sudah tua
Di sisi lain, setiap saat gw harus mendengarkan peringatan-peringatan kekanakan yang disampaikan nyokap gw yang masih berusaha membuat gw menambah depresi.
Di sisi yang lain gw pun masih harus bertahan dari sikap bokap yang selama ini selalu menganggap gw seperti seorang anak kecil yang mempunyai wujud anak berusia 18 tahun.
Dan di atas semuanya gw harus menjadi seorang yang ceria, terlihat kekanakan, cuek, dan tidak tertatur di depan orang-orang yang selalu menambah masalah hidup gw.

Siapakah gw ini sebenernya?
Gw udah terlalu capek untuk hidup di dalam sangkar indah seolah hidup gw sederhana dan tak punya banyak masalah, padahal sangkar itu hanyalah sebuah gubuk reyot yang bisa rubuh setiap saat.
Kapan gw bisa lepas dan mempunyai hidup gw sendiri tanpa harus menutupi kehancuran yang ada dalam diri gw sendiri?

Rein

Senin, 21 Desember 2009

Irasonalitas

Mungkin bukan untuk pertama kalinya gw berpikiran seperti ini.
Mungkin gw telah berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kali memikirkan hal ini.
Hanya saja aku tak pernah sadar telah berapa kali aku memikirkannya.
Mungkin saja aku sebelumnya tak pernah sadar bahwa aku telah berpikir seperti ini.
Bukan mauku untuk berpikir sejauh itu.
Bukan mauku untuk menjadi seperti ini.
Bukan mauku untuk hidup seperti ini.
Aku tahu
Hidupku jauh dari kata imajinasi
Aku terlalu merasionalkan segala hal.
Aku tahu banyak hal di dunia ini yang irasional
Tapi aku terus mempertanyakan bentuk rasional dari kehidupan manusia
Aku memilih untuk jauh dari apa yang disebut Tuhan
Aku memilih untuk mempercayai apa yang nyata
Sekalipun ketidakrasionalan dunia ini masih tetap kupertanyakan
Aku memilih untuk memahami apa yang masuk dalam logika
Tanpa peduli tentang apa yang hanya imajinasi dan dongeng belaka
Tetap saja aku tak pernah bisa lepas dari kehidupan yang terus-menerus menunjukkan keirasinalitasannya.
Tetap saja aku hidup di dunia di mana logika dipertanyakan arah dan tujuannya
Bukannya aku tak pernah mau memimpikan cita-cita yang besar
Bukannya aku tak mau beridealisme dan mempunyai harapan
Namun ketidakrasionalan dunia ini yang telah mendidikku untuk menjadi manusia yang paham akan fakta dari suatu kehidupan di dunia yang terlalu banyak menjual mimpi
Dunia inilah yang menjadikan diriku makhluk apatis
Yang pada akhirnya menjadi manusia yang tak paham apakah maksud dan tujuan bermimpi
Tak paham akan idealisme dan harapan-harapan yang tak pernah terkabul
Yang memandang harapan hanyalah sarana membuang waktu tanpa hasil
Yang menganggap idealisme hanyalah sebuah cita-cita kosong yang tak membuahkan apapun
Yang melihat mimpi hanyalah sebagai keindahan yang tak pernah terealisasikan


Rein