Selasa, 25 Mei 2010

Akhir yang Baik

Ini adalah satu hari yang tak pernah aku perkirakan akan terjadi di akhir masa SMA-ku. Mungkin ini sesuatu yang biasa untuk banyak orang. Apalagi bagi mereka yang dapat hidup berkecukupan dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Namun ini berbeda bagi diriku biasa-biasa saja dan pernah merasa kehilangan masa muda ketika masuk SMA.
Biarlah aku ceritakan lebih jelas kehidupanku di masa dulu sebelum menceritakan apa yang terjadi saat ini. Yang terjadi saat ini biarlah menjadi sesuatu yang akan Anda semua baca di bagian akhir dari kisah ini. Sekali ini aku ingin mencoba membuat akhir cerita yang indah menurut versiku sendiri. Sekali lagi, mungkin kisah ini biasa-biasa saja bagi banyak orang tapi bagiku sendiri ini menjadi sesuatu yang berarti.
Sewaktu aku masih TK, ketika aku baru sadar bahwa aku hidup di dunia ini sebagai seorang anak dari sebuah keluarga sederhana. Sesuatu yang menyedihkan terjadi di tengah chaos pada Mei 1998. Ini bukanlah kisah yang menyenangkan, karena banyak anak sebayaku berakhir dengan nasib tragis entah karena terbunuh, diculik, atau bahkan menghilang. Namun seperti orang-orang lainnya. Hampir separuh dari masa depanku terenggut begitu saja. Aku ingat betul apa yang terjadi pada masa-masa itu. Kekuatiran terjadi di mana-mana, banyak daerah yang dijarah dan dirusak begitu saja oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab. Di masa itu aku kurang lebih berusia 6 tahun dan sebentar lagi akan masuk ke jenjang pendidikan SD. Yang bisa dikatakan harus menguras uang lagi untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Malam itu seperti malam-malam yang biasa. Aku ingat bahwa saat itu aku baru saja mulai bisa membaca dan mengenal waktu. Kurang lebih pukul 22.00 telepon berbunyi nyaring. Dan ibuku mengangkat telepon yang entah dari siapa.
Sesaat setelah ibu menutup telepon, dia memanggil ayah dan kemudia menangis. Aku yang masih kecil belum sadar tentang apa yang telah terjadi. Aku hanya mendekat kepada ibu dan bertanya, “Ada apa, Ma?”
Ibuku hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Toko kita di Cipete dijarah dan dibakar.” Sambil terus terisak dia kembali menangkupkan tangannya ke wajahnya dan tak berhenti dalam isakan dan tangis kesedihan.
Aku kembali berpikir. Tapi aku belum mengerti apa yang telah terjadi. Malam itu aku tidur dengan perasaan dingin yang menyelimuti dada yang sejujurnya aku tak mengerti artinya.
Esok paginya aku mendapat sebuah kesimpulan dan aku berkata pada ibu.
“Ma, berarti aku tak bisa sekolah lagi ya?”
Itu hanyalah sebuah pertanyaan jujur yang terlintas dalam benak polos seorang anak kecil. Pada saat itu aku sadar, sulit untuk meneruskan sekolah jika mata pencaharian suatu keluarga sudah hancur.
Namun, nasib berkata lain untuk diriku. Mungkin aku adalah satu dari segelintir anak yang beruntung yang masih bisa meneruskan sekolahnya. Salah satu kakak ibuku yang tidak menikah mampu membiayai sekolahku sampai aku sekarang lulus SMA. Dan dia pulalalh yang menjamin kehidupanku untuk bisa melanjutkan kuliah ke depannya.
Dikarenakan adanya seseorang yang mensponsori hidupku dalam bidang material inilah aku terdorong untuk menjadi berprestasi. Karena aku tak ingin mengecewakan orang yang telah menaruh harapan begitu besar. Aku tak mungkin mengecewakan orang tuaku. Namun lain ceritanya bila ada begitu banyak orang yang menaruh harapan seperti kedua kakak laki-lakiku yang berbeda jauh umurnya denganku dan seorang tante yang selalu siap membantuku dalam masalah pendidikan dan materi.
Aku berusaha untuk bisa memenuhi harapan mereka. Mungkin tanpa aku sadari aku pernah membuat mereka semua kecewa. Namun aku sendiri berusaha menyenangkan hati mereka semua.
Aku ingat pertama kalinya aku mengikuti lomba saat aku kelas 5 SD. Aku sadar seorang guru yang merupakan wali kelasku saat itulah yang berjasa besar untuk menemukan bakatku yang selama ini tak terlihat. Beliaulah yang pertama kali mendorongku untuk menjadi lebih berprestasi. Dia menyuruhku untuk ikut lomba sinopsis yang diadakan oleh pemerintah. Meskipun saat itu hanyalah lomba tingkat sector, tapi setidaknya aku menjadi pemenang di posisi 2 sedangkan lawanku yang lain berasal dari kelas 6 SD dan ada di antara mereka yang tak mendapat peringkat apa-apa.
Semenjak aku mengenal guru inilah banyak orang yang sadar aku cukup berbakat dalam hal matematika dan logika. Dan begitu aku menginjak kelas 6 SD, guru-guru di sekolahku memberiku kesempatan untuk ikut serta dalam berbagai lomba baik dalam matematika maupun mata pelajaran beregu.
Aku ingat aku pernah lolos sampai final untuk lomba matematika dan bahkan pernah juara 1 untuk lomba mata pelajaran beregu. Aku tahu pasti, bila aku tak pernah mengenal wali kelasku ketika aku kelas 5 SD maka aku tak akan pernah mencapai apa yang kuraih ketika aku kelas 6 SD.
Akupun pernah dianjurkan untuk meneruskan ke SMP yang masih satu yayasan dengan SD-ku dulu. Namun aku menolak, padahal nilaiku cukup bagus dan ternyata aku masih dapat keringanan sebesar 50% untuk uang pangkal dan iming-iming untuk masuk kelas akselerasi. Namun aku tetap menolak karena ingin masuk ke SMP yang background pengajarannya sama dengan iman yang aku percayai.
Tapi aku tetap tak melupakan jasa guru yang telah menemukan suatu hal baru dalam diriku. Terhitung begitu aku masuk SMP dan tidak meneruskan pendidikan di sekolah yang direkomendasikan SD-ku sebelumnya. Aku kadang masih berjumpa dengan guru itu meski keadaannya sekarang sudah sedikit menyedihkan karena dia masih mempunyai anak yang masih kecil sedangkan tubuhnya mulai digerogoti oleh penyakit-penyakit yang membuat dia tak mampu berbuat sebanyak dulu. Namun tetap dia menjadi bagian yang penting bagi perkembangan awal kehidupanku sampai sekarang ini.
Aku memasuki sebuah dunia yang jauh berbeda di SMP. Aku tahu, SMP yang kumasuki adalah sebuah SMP biasa yang tidak begitu terkenal. Namun aku mendapat hal berbeda di sini. Boleh dikatakan meskipun kemampuan akademis yang dikembangkan di sini tidak begitu baik, namun aku merasa mendapatkan teman-teman sejati di sana. SMP menjadi sebuah kehidupan baru di mana aku belajar nilai-nilai moral yang tak bisa kupelajari di sekolah-sekolah lainnya. Suatu dunia berbeda yang membuat diriku sadar betapa sempitnya dunia yang kulihat saat SD. Kompleksitas dunia yang tak pernah kulihat membuka pandangan yang berbeda dalam diriku dan menjadikanku pribadi yang keras dan berprinsip saat aku menjalani kehidupan SMP-ku.
Meski masuk ke dalam lingkup yang kemampuan akademis dari guru dan muridnya berbeda jauh dengan saat aku SD, namun aku tak begitu saja lupa akan jasa-jasa orang di sekitarku. Termasuk keluargaku. Di dalam lingkungan di mana persaingan lebih mudah untuk dimenangkan, aku berusaha untuk bisa lebih. Dan tak heran aku tetap mengikuti beberapa komptetisi. Meski aku tak dapat memenangkannya karena kurangnya bimbingan materi yang diberikan. Setidaknya aku bisa mengharumkan nama sekolah sampai tingkatan tertentu dan menjadi yang terbaik di antara teman-temanku.
Tanpa aku sadari pula. Karena presetasi yang baik saat SMP aku ingin masuk sebuah SMA swasta yang cukup terkenal dan mempunyai nama. Aku merasa mampu masuk ke sana dan berprestasi serta masuk jurusan IPA. Karena aku tahu, selama ini saat SMP aku merasa meski tidak belajar pun toh aku tetap mampu menjadi salah satu yang terbaik yang pernah dimiliki sekolahku.
Namun akhirnya aku harus menelan kesombonganku sendiri. Aku harus sadar ada langit di atas langit. Aku yang saat SD dan SMP terbiasa menjadi yang terbaik di antara yang terbaik harus kembali menelan ego-ku. Aku harus bersaing dengan sejumlah orang yang jauh lebih pintar dariku dan pernah menerima pendidikan yang jauh lebih bagus dariku sendiri.
Bagi sebagian besar orang, mungkin aku terlihat seperti orang bodoh yang termakan ego-nya sendiri. Namun bagi orang yang pernah berada di puncak tanpa usaha yang berarti dan harus jatuh ke jurang rasanya hal itu merupakan hal yang menyakitkan. Ada kalanya aku ingin berusaha dengan baik agar bisa kembali menapaki jalan ke puncak. Namun aku terlalu malas untuk melakukannya. Ada kalanya aku merasa lebih baik aku pindah sekolah dan tak perlu lagi bersekolah di tempat di mana aku tak bisa menjadi berprestasi. Namun aku merasa seperti pengecut yang lari dari pertarungan sebelum tahu bagaimana hasil akhir dari pertarungan tersebut.
Aku tahu aku belum kalah. Namun diriku menolak untuk berjuang. Bisa dikatakan saat aku baru masuk SMA aku benar-benar stress. Saat ini, aku merasa alasanku untuk jatuh depresi seperti dulu merupakan alasan yang bodoh. Namun saat itu aku benar tak bisa menerima kejatuhanku. Dan aku menyikapinya dengan cara yang salah. Aku semakin malas belajar. Aku pun tak peduli lagi apakah nilaiku jatuh atau tidak yang penting aku naik kelas.
Pada akhirnya, jurusan yang aku masuki begitu aku naik kelas XI jauh dari ekspektasi orang banyak. Banyak yang mengira dengan kehebatanku waktu SMP aku akan masuk ke jurusan IPA. Namun akhirnya aku memilih sebuah jurusan minoritas yang menurut banyak orang tak menarik karena tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Tapi aku tetap pada pendirian (sesuatu yang berharga yang pernah kuterima saat SMP adalah pendirian yang kuat) bahwa aku harus menyelesaikan apa yang telah menjadi pilihanku sendiri. Masuk ke SMA ini adalah pilihanku. Jurusan yang kupilih juga adalah pilihanku sendiri. Tak ada kata menyesal untuk diriku. Maka aku putuskan untuk berjuan habis-habisan di sini. Meski aku tak menjadi yang terbaik, tapi aku menemukan bahwa diriku mempunyai sesuatu yang lebih. Di mana aku bisa mengembangkan kemampuanku tentang komputer. Aku menemukan kembali diriku.
Sedikit banyak setelah aku semakin mendalami perkomputeran, aku ingin sekali mempunyai sebuah laptop. Karena komputer sudah menjadi bagian dari hidup yang harus dimiliki di kota besar. Maka aku benar-benar ingin mempunyai sebuah laptop. Namun aku sadar, aku tak layak meminta lebih pada tante yang selama ini membantuku dalam masalah biaya. Karena aku merasa sudah berutang budi begitu banyak padanya.
Aku tak berani mengajukan permintaan ini. Aku tahu, orang tuaku sendiri tak mampu untuk membelikan satu unit laptop. Jadi buat apa aku mengajukan suatu permintaan yang tak mungkin dipenuhi orang-orang di sekitarku. Maka aku putuskan untuk menyimpan keinginan ini dalam hati.
Akhirnya waktu terus berjalan. Aku sebentar lagi akan lulus SMA. Aku sudah mendaftar di sebuah universitas dan diterima dengan baik di sana. Aku hanya tinggal menunggu pengumuman hasil UAN dan UAS.
Di hari ketika hasil itu keluar, saat aku datang terlambat ke sekolah tiba-tiba teman-teman satu jurusanku memberikan selamat padaku.
“Rein, kamu mendapat nilai tertinggi dalam jurusan kita!!! Selamat ya!!!”
Aku sedikit kaget. Selama SMA ini aku tak pernah menjadi yang terbaik. Selama SMA ini bakatku hanya diakui segelintir orang yang tak bisa mengembangkan bakatku lebih jauh. Terlebih lagi aku merasa bahwa bakatku tak pernah diakui di sekolah. Namun tiba-tiba aku menjadi yang terbaik untuk satu hal yang tak pernah aku bayangkan. Setidaknya ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi diriku.
Akhirnya setelah segala pengumuman itu selesai, beberapa hari kemudian aku memutuskan untuk pergi ke Bandung untuk liburan di rumah kakakku. Namun belum ada seminggu aku di sana. Ibuku mendapat telepon untuk datang ke sekolah karena aku mendapat penghargaan.
Awalnya aku bingung. Apalagi mau sekolah ini? Akhirnya begitu aku kembali ke Jakarta dan pergi ke sekolah untuk memastikan hal itu aku mendapat sebuah kejuatan.
Ada guntingan koran terpampang di papan pengumuman sekolah ku dengan judul ‘Siswa berprestasi mendapat laptop’.
Aku berjalan mendekati guru dan guru itu berlari ke kantornya dan mengeluarkan sebuah bingkisan yang menurutnya dari pemerintah.
Tiba-tiba kepala sekolah mendatangiku dan berkata, “Katanya sih hadiahnya laptop.”
Akhirnya kubuka bingkisan itu di depan kepala sekolah. Dan benar saja itu laptop.
Mungkin ini memang jalan Tuhan atas pencapaian yang aku perjuangkan. Memang jalan Tuhan aku harus terjebak dalam masa SMA yang bisa dikatakan tak sebahagia bayangan orang-orang sebelum akhirnya mendapat akhir yang memuaskan.
Dan dengan laptop mini inilah aku menuliskan kisah ini.

Tidak ada komentar: