Minggu, 22 Februari 2009

SEBELUM SEMUANYA TERLAMBAT

“Jadi selama ini, itu yang terjadi dalam hubungan kita! Jadi selama ini kamu membohongi aku!” itulah yang terdengar dari kamar orang tuaku di pagi ini. Suara ibu terdengar begitu getir dan sarat akan emosi. Semenjak kejadian di pagi itu kehidupan keluargaku berubah.

Kemarin, aku pulang dari rumah temanku yang jaraknya cukup jauh dari rumahku. Sepulang sekolah aku langsung mampir ke rumah teman, sehingga aku baru sampai di rumah kurang lebih menjelang malam. Ketika aku sampai di depan pintu rumahku, kulihat ada mobil ayahku terparkir di depan garasi. Tumben ayah sudah pulang, batinku. Saat aku masuk ke dalam rumah, kulihat ayah sedang duduk di sofa ruang tamu sambil merokok dan menatap laptop di depannya. Dia masih berpakaian rapi. Rupanya dia baru saja pulang, sama seperti aku yang masih memakai seragam putih abu-abu.

Aku mencoba untuk menegur ayah, “Yah, tumben pulang cepat.” kataku.

“Aldo, ngapain aja kamu dari tadi? Baru pulang jam segini!” bukan respon seperti ini yang aku harapkan.

“Dari rumah Dani, Yah. Kan ngerjain tugas kelompok bareng.”

“Tapi bukan berarti kamu bisa pulang selarut ini!” Bukan memaklumi perbuatanku, ayah malah memarahiku. Aku pun menjadi emosi, lebih baik kutinggalkan dia, daripada bertengkar karena masalah sepele.

“Baiklah, Yah. Maaf.” Buru-buru aku meninggalkan dia.

“Tunggu, Aldo….”

Tanpa mempedulikan kata-kata ayah, aku langsung naik ke lantai 2. Aku ingin bersiap-siap untuk mandi dan berusaha menghapus kekesalan terhadap ayah yang mempersoalkan masalah sekecil itu. Saat aku melewati kamar orang tuaku, kudengar isak tertahan dari kamar itu. Kuketuk pintunya, tanpa menghiraukan apa jawaban dari dalam, aku langsung membuka pintu. Ternyata kulihat ibu sedang menangis dan terisak.

Sambil mendekat ke arah ibu, aku mencoba bertanya, “Ada apa, Bu.”

Cepat-cepat dia menghapus air matanya dan merapikan raut wajahnya.

“Tidak apa-apa, Do. Tidak ada apa-apa.” dia berusaha menutupi kesedihan di wajahnya.

“Tidak mungkin Ibu menangis tanpa alasan. Katakanlah pada Aldo, Bu. Mungkin dengan begitu perasaan Ibu menjadi lebih baik.” kudekap ibuku, berharap dia dapat merasakan betapa aku menyayanginya dan ingin melihat senyum di wajahnya.

Ibu menghela napas dan memelukku. Mungkin terlihat konyol untuk anak laki-laki seusiaku masih bermanja-manja dengan ibu. Namun aku tak peduli, karena aku amat sayang padanya. Akhirnya dia berkata, “Sudahlah, Do. Ibu tak mau kamu merasa terbebani dengan masalah yang sedang Ibu hadapi.”

Aku tak lagi berusaha untuk membuatnya menceritakan masalahnya kepadaku. Seba ibuku adalah orang yang keras kepala, bila dia sudah meyakinkan orang sampai dua kali, keputusannya tak akan berubah lagi. Aku memandang kekeras-kepalaan ibuku ini sebagai sifat yang membuat ibuku sukses mengasuh dua anak laki-lakinya yang nakal, yaitu aku dengan adikku.

“Bu, ada apa dengan Ayah? Pulang kerja kok jadi marah-marah sama Aldo gara-gara aku pulang terlambat.” kucoba bertanya siapa tahu ibu mengetahui apa yang terjadi sehingga aku dapat memaklumi kelakuan ayah yang berbeda dari biasanya.

Tapi raut wajah ibu sedikit berubah, seolah menyiratkan dia tak ingin membicarakan hal tersebut di depanku. “Ibu tak tahu, Do. Lebih baik kamu tanya langsung saja ke Ayah.”

Aku tak mencoba menanyakan lebih jauh lagi. Aku pun tak berusaha bertanya langsung pada ayah, karena itu sama saja seperti berlari-lari di tengah ladang penuh ranjau. Aku masih penasaran dengan semua ini. Kenapa ayah malah marah saat aku pulang terlambat unruk alasan yang logis. Dan apa masalah yang sedang dihadapi ibu saat ini. Aku berpikir mungkin mereka habis bertengkar. Tapi biasanya dengan mudah dan seperti anak kecil, mereka akan berbaikan kembali.

Karena rasa ingin tahu masih menghantuiku, aku menuju ke kamar adikku yang bersebelahan dengan kamar orang tuaku. Berharap dia mengetahui sesuati yang tidak kuketahui. Kubuka pintunya tanpa mengetuk lagi. Kulihat adikku sedang membaca komik sambil berbaring di atas ranjang.

“Eh, kakak sudah pulang ya?”

Ya iyalah, batinku. Kalau belum pulang bagaimana aku bisa masuk ke kamarmu?

“Iya, dari rumah teman, Ndre.” hanya itu jawabku.

“Hm, pasti dari rumah cewenya Kakak ya?” tanya adikku penuh selidik.

Dasar ingin tahu saja. “Bukan kok. Enak aja! Abis dari rumah Dani kok.” timpalku.

“Oh…” rasa ingin tahunya sedikir memudar, karena dia tahu Dani adalah teman baikku di sekolah.

“Andre, Ibu kenapa sih? Kayaknya tadi abis nangis deh.” aku mencoba bertanya.

“Oh, tadi aku sih cuma denger dari sini doang. Ayah dan Ibu bertengkar tapi gak tahu juga masalahnya apa. Aku gak berani tanya-tanya sih. Takut…”

“Hm… Ya udah deh cuma mau tanya doang sih.” aku langsung pergi meninggalkan adikku.

******************************************************************************

Keesokan harinya, langit begitu cerah, tapi suasana dalam rumahku jauh dari kata cerah. Kebahagiaan yang biasa memancar dari ayah dan ibu sekarang malah menampilkan kebencian. Setelah teriakan ibu terdengar dari dalam kamar, suasana dalam rumah menjadi tak menentu. Makan pagi pun dilakukan dalam diam, tak ada tegur sapa yang biasanya menjadi kekhasan dalam rumah kami.

Yang kutahu sekarang adalah keadaan di rumahku semakin memburuk dari yang kemarin. Mendengar dari apa yang diteriakkan ibuku saat bertengkar mungkin ada orang ketiga yang mengisi kehidupan ayah dan ibu. Aku berusaha untuk menahan rasa marah dan ingin tahu, karena aku tak mau ibu bertambah sedih dengan pertanyaan-pertanyaanku.

Sepulang sekolah, aku kembali memikirkan keadaan di rumah dan muncul rasa malas untuk langsung pulang ke rumah. Aku pun berpikir untuk jalan-jalan sebentar ke Plaza Semanggi sekedar untuk menghabiskan waktu di sana. Setelah memarkirkan motorku, aku masuk ke dalam salah satu kafe. Yang kupesan hanyalah secangkir cappuccino. Kemudian aku mencari tempat duduk di sudut dan duduk di sana. Sambil memandang ke luar jendela kafe tersebut aku kembali memikirkan masalah ayah dan ibuku. Ingin sekali aku membantu mencari jalan keluar.

Seiring waktu berlalu, aku berpikir sudah saatnya aku pulang. Jam tanganku pun sudah menunjukkan pukul 04.35. Dari sini mungkin aku baru sampai rumah jam 5 tepat. Saat aku beranjak dari tempat dudukku. Kulihat melalui jendela,dari jauh ada sosok ayahku dengan seorang wanita muda di sampingnya. Wanita itu merangkul mesra tangan ayahku. Dan terlihat ayah tertawa manja dengan wanita itu. Terlihat hubungan mereka bukan hanya pertemanan biasa. Amarah yang semula bisa kutahan sekarang hampir meledak begitu saja. Dengan terburu-buru aku keluar dari kafe itu dan berlari menuju ayahku. Kucoba mengejarnya, namun begitu aku sampai di luar kafe. Sosoknya telah lenyap bersama kumpulan orang yang lalu-lalang.

Dengan perasaan yang maikin tak menentu, aku percepat laju motorku agar cepat sampai di rumah. Aku ingin sekali mengingkari apa yang baru saja kulihat. Tapi apa yang kulihat sudah membekas dalam ingatanku. Ya, dia memang ayah. Dan rasa benci pun muncul dalam hatiku. Mengapa dia setega itu sampai mengkhianati ibu?

Sesampai di rumah, aku langsung mencari ibuku. Ternyata dia sedang pergi juga. Kuurungkan niatku menceritakan apa yang kulihat tadi. Ketika malam sudah larut, ibu menelepon ke rumah. Dia berkata bahwa saat ini dia sedang di rumah bibiku mungkin baru besok pagi dia akan pulang. Aku tak mau ambil pusing dan hanya mengiyakan saja. Sebab aku tak mau membahas ini melalui telepon, aku ingin bertemu muka dengan ibuku.

Esok harinya, aku bangun cukup pagi. Namun saat teringat apa yang terjadi kemarin, rasa benci pada ayahku semakin bertumpuk. Ternyata ayah tidak pulang sampai pagi ini. Dan ibu mengirimkan SMS padaku yang mengatakan bahwa dia belum bisa pulang pagi ini. Mungkin baru nanti siang dia baru kembali. Aku tak menjawab SMS-nya. Yang penting bagiku saat ini ibu baik-baik saja. Masalah bahwa ayah pergi bersama wanita lain, bisa dibicarakan nanti. Toh, aku sudah tahu masalah apa yang sedang dihadapi ibu, mungkin nanti setelah ibu pulang aku akan membicarakannya, berharap bisa membantunya meski hanya sedikit.

Hari ini aku malas ke sekolah. Kupikir aku lebih baik di rumah saja sambil menunggu kepulangan ibu dari rumah bibi. Adikku yang penuh keingintahuan bertanya kenapa aku tak mau pergi ke sekolah. Dengan sedikit berbohong kukatakan bahwa hari ini aku pusing. Akhirnya aku menunggu di rumah dan mengisi waktu dengan menonton TV.

Menjelang jam makan siang, ayah pulang ke rumah. Tumben, buat apa dia pulang? Bukannya saat ini seharusnya dia ada di kantor? Mungkin dia berpikir ibu ada di rumah dan berniat membicarakan sesuatu.

Saat dia akan masuk ke dalam rumah aku pun buru-buru turun dari kamarku. Begitu bertemu muka dengan ayahku, emosi yang kutahan sejak kemarin tak bisa lagi kubendung.

“AYAH! Segitu teganya ayah pada ibu!”

Ayah kaget mendengar teriakanku. “Apa maksudmu! Dan kenapa kamu ada di rumah jam segini? Kamu seharusnya ada di sekolah!”

“Aku mau agar Ayah jujur! Siapa wanita yang kemarin bergandengan tangan dengan Ayah?”

“KAMU! Kenapa kamu bisa…”

“Kenapa Aldo bisa tahu? Karena kemarin aku lihat dengan mata kepala sendiri!” dengan cepat kupotong omongan ayah.

Kring… Kring… Telepon berbunyi tak ada yang menghiraukan.

“Sudahlah! Itu bukan urusan kamu!” ayah berusaha menghindar.

“Bukan urusanku! Enak saja! Ayah, senang membuat Ibu menderita?”

Kring… Kring…

“Bukan seperti itu, Aldo! Kamu tak mengerti apa-apa.”

“Apa maksud Ayah? Sudah jelas aku melihatnya kemarin. Buat apa berbohong lagi, Yah!”

Kring… Kring… Tetap tak kuhiraukan dering telepon itu.

“Kita bicarakan nanti saja. Kamu angkat telepon itu dulu, Do.” ayah kembali menghindar.

Ingin aku mendebat ayah sekali lagi, tapi kutahan emosiku dan aku berjalan menuju telepon. Kuangkat telepon itu dan apa yang baru saja kudengar membuat hatiku dingin. Kabar yang kudengar membuatku hanya diam dan tak berkata apa-apa lagi.

Yang kudengar dari suara di ujung telepon adalah ibu mengalami kecelakaan saat hendak pulang ke rumah dan dia tewas seketika dalam kecelakaan itu. Kupikir semuanya bisa kembali seperti dulu, seperti saat ayah dan ibu saling mencintai. Kembali menjadi suatu keluarga utuh tanpa ada perselisihan. Meski dadaku terasa penuh dengan berbagai perasaan yang campur aduk menjadi satu, aku mencoba berpikir dan berharap agar aku bisa memutar kembali waktu sebelum semuanya terlambat dan berakhir seperti ini.

By Rein

Tidak ada komentar: